Minggu, 29 Mei 2011

MANAJEMEN PEMERINTAHAN DESA


EVALUASI  IMPLEMENTASI MANAJEMEN PEMERINTAHAN DESA
DI KECAMATAN PURWOREJO KABUPATEN PURWOREJO

Wahyu Purhantara
Program Studi Manajemen STIE Mitra Indonesia Yogyakarta
Dipublikasikan: Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 15, No.1.
April 2010, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UNY

Abstract

Management of local sometimes does not work in maximum as expected. Local government never succeeds in increasing performance and public services. This condition is caused by the lack of local government employees understanding and capability, which cover: understanding and capability of the job, function, competence of local government chairman and BPD that is not responsive to the changing need of the society.
The aim of this study is to recognize the effectiveness of local government implementation and the barriers faced. The type of this study is qualitative descriptive using data collecting method, including observation and interviews. Population in this study is all employees engaged in government activities.
The result of the analyses shows that the level of local government activities have not worked in maximum, especially in coordination activities and its evaluation. Meanwhile coordination in other areas have not worked optimally, such as coordination in planning, controlling program, and evaluating the result of local development.

Keyword: management of local government, public servie

A.      

 
Latar Belakang Permasalahan
Kepala desa sebagai seorang pemimpin pada era desentralisasi dalam organisasi pemerintahan desa, bukan lagi memposisikan dirinya sebagai penguasa tunggal di desa yang suka memerintah, tetapi sebagai pemimpin. Kepala Desa harus dapat mendorong dan meningkatkan semangat kerja seluruh warga masyarakat desa mulai dari perencanaan program sampai pada pemanfaatan kegiatan pembangunan, secara transparan dengan melibatkan lembaga pemerintahan desa lainnya seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD).    Dengan demikian kepemimpinan kepala desa menunjukan suatu proses kegiatan seseorang di dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol pikiran, perasaan atau tingkah laku orang lain” (Ojong Uchjana Effendy, 1977).
Untuk dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan baik juga perlu diupayakan peningkatan kinerja lembaganya dan salah satu hal yang perlu dievaluasi adalah cara penerapan kepemimpinan kepala desa. Kepemimpinan sangat diperlukan dalam upaya menciptakan ide dan kretaivitas untuk organisasi, mendorong bawahan meningkatkan kinerjanya dan berupaya mencapai hasil yang optimal. Bila melihat berbagai perbedaan seperti luas wilayah, jumlah kepala keluarga, sumber daya perangkat dan tingkat kesejahteraan warga masyarakat yang ada di beberapa desa sebagai obyek penelitian, diharapkan dengan pola kepemimpinan kepala desa, optimalisasi pemberdayaan sumber daya manusia yang ada dapat dikembangkan dan ditingkatkan dengan baik sehingga kesejahteraan warga masyarakat di desa dapat terwujud.
Kemampuan menyelenggarakan pemerintahan desa sangat ditentukan oleh kecakapan menajerial dari komponen pemerintahan desa dan berfungsinya sistem manajemen pemerintahan desa. Pola penyelenggaraan pemerintahan desa di satu sisi harus mengikuti tuntutan modernitas dan tuntutan perubahan, namun di sisi lain harus peka terhadap konteks budaya setempat.
Mengacu pada Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan Dan Tata kerja Pemerintahan Desa, maka tekanan tugas yang harus dijalankan oleh Pemerintahan Desa adalah tugas yang menyangkut kepentingan kelancaran pelaksanan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat / umum. Di dalam penyusunan program pembangunan di tingkat desa sangat diperlukan adanya partisipasi masyarakat karena proses penyusunan dan penetapan, serta pelaksanaan dan evaluasi berbagai program dapat langsung dilaksanakan oleh masyarakatdan lembaga Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Kecamatan Purworejo memiliki 25 desa yang dibagi kedalam  14 kelurahan dan 11 desa. Dalam penelitian ini diambil tiga desa yang memiliki karakteristik berbeda dilihat dari letak goegrafis dan jumlah penduduk, luas wilayah dan sumber daya manusianya serta manajemen pemerintahannya. Tiga desa itu antara lain Kelurahan Paduroso, Desa Plipir dan Desa Wonotulus. Di ketiga desa di Kecamatan Purworejo ini memiliki keragaman kondisi sosial budaya, kondisi perekonomian dan kondisi pemerintahan yang berbeda. Demikian pula terdapat beberapa perbedaan dari ketiga desa tersebut dari sisi kondisi geografis dan demografisnya.
Tabel 1
Kondisi geografis, demografis, dan APBDes 2007
No
Desa/ Kalurahan
Luas (Ha)
Jml. KK
APBDes/Kal
1
Kalurahan Paduroso
73,445
320
77.093.355,00
2
Desa Plipir
183,975
1.299
85.863.917,00
3
Desa Wonotulus
192,082
227
34.760.000,00
Sumber: Data Bawasda 2007 yang diolah
Pola pelayanan kepada masyarakat adalah cermin dari implementasi manajemen pemerintahan desa yang diterapkan di ketiga desa / kalurahan tersebut. Pola implementasi ini ternyata memiliki pola yang berbeda, dan ada beberapa yang memiliki kesamaan. Perbedaan pelayanan ini menjadikan dari masing-masing desa/ kalurahan memiliki karakter dan deferensiasi pelayanan. Bahkan nilai perbedaan ini dapat dijadikan keunggulan dari masing-masing desa/ kalurahan. Perbedaan pola implementasi manajemen pemerintahan inilah yang menjadi fokus penelitian ini.

B.        Rumusan Masalah
Masalah aspek-aspek evaluasi pelaksanaan pemerintahan desa yang diteliti dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1.         Apakah manajemen pemerintahan desa dapat dijalankan secara efektif di lingkungan Kecamatan Purworejo Kabupaten Purworejo?
2.         Strategi apakah yang ditempuh oleh kepala desa/ lurah dari objek yang diteliti di dalam mengimplementasikan manajemen pemerintah desa/ kalurahan?

C.       Pengkajian Teori yang Dipergunakan
1.      Manajemen Pemerintahan
Pada prinsipnya tugas pokok pemerintah adalah public service, yaitu pelayanan atau melayani masyarakat. Tingkat kemampuan pemerintah dengan tingkat kemampuan masyarakat moderen, tradisional maupun termodern sekalipun harus seimbang atau diimbangi. Disamping itu pemerintah dituntut lebih banyak memberikan bimbingan, pembinaan serta motivasi mengejar ketertinggalan dari bagian masyarakat yang lain yang sudah maju, sehingga wajar apabila dalam kondisi seperti ini dibutuhkan government (pemerintah) dan governance (pemerintahan) yang memadai.
Selanjutnya menurut (A.S Horby,), menyebutkan bahwa governance atau governing yaitu ” mengarahkan atau mengendalikan atau mempengaruhi masalah publik dalam suatu negeri ”(Kushandajani, 2001). Apabila ditinjau dari segi dinamika, kepemerintahan berarti segala kegiatan atau usaha yang terorganisasikan, bersumber pada kedaulatan dan berlandaskan pada dasar negara, mengenai rakyat dan wilayah negara itu demi tercapainya tujuan negara. Dari segi struktural fungsional, kepemerintahan berarti seperangkat fungsi negara, yang satu sama lain saling berhubungan secara fungsional, dan melaksanakan fungsinya atas dasar-dasar tertentu demi tercapainya tujuan negara.  Dari segi aspek tugas dan kewenangan negara maka kepemerintahan berarti seluruh tugas dan kewenangan negara.
Kemampuan menyelenggarakan pemerintahan sangat ditentukan oleh kecakapan menajerial dari eksponen pemerintahan dan berfungsinya sistem manajemen. Pola penyelenggaraan pemerintahan desa di satu sisi harus mengikuti tuntutan modernitas, namun di sisi lain harus peka terhadap konteks budaya setempat. Dari tinjauan tersebut, apabila governance sudah berjalan dengan baik serta dalam tataran implementasinya telah mengakomodasi empat komponen yang meliputi : Hak azazi manusia (human right), masyarakat madani (civil society), demokratisasi dan globalisasi, maka kepemerintahan yang ada telah berkualifikasi baik atau diistilahkan ”good governance”.    
Birokrasi Indonesia memiliki pengertian suatu sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat, cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai. Birokrasi pemerintah Indonesia memiliki peranan sebagai stabilisator (menciptakan suasana aman dan stabil); dinamisator (menggerakkan); inovator (pembaharuan); arbitrator dan moderator (perantara).

2.      Enterpreneurial Government (EG)
a.       Istilah lain manajemen pelayanan public, dengan ciri-ciri:
·         Mengedepankan kompetisi,
·         Mampu memberdayakan masyarakat (dengan membatasi peran birokrasi),
·         Berorientasi pada hasil (outcome),
·         Lebih menggunakan misi ketimbangan aturan sebagai daya dorongnya,
·         Mencoba semaksimal mungkin mencegah (prevent) persoalan yang muncul ketimbang memecahkannya,
·         Menggunakan semua potensi yang ada untuk earning money ketimbang membelajakannya,
·         Mengedepankan desentralisasi dan mendorong partisipasi, mengadopsi mekanisme pasar dalam manajemen pelayanan public, dan
·         Mengutamakan peran sebagai katalisator ketimbang sebagai pengelola pelayanan pulbik.
b.      Penerapan model ini pertama kali dilakukan oleh Clinton di Amerika Serikat. Keberhasilan model pemerintahan ini diindikasi dengan angka pengangguran menurun tajam, pertumbuhan ekonomi meningkat pesat, dan peluang kerja terbuka lebar (Surundajang, 2003, 203-205)

3.  Pemerintahan Desa
Pemerintahan Desa merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pejabat publik dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan suatu organisasi publik.         Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan BPD. Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, kewenangan Desa yang ada untuk penguatan pemerintahan desa ke depan meliputi:
Ø  Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;
Ø  Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;
Ø  Tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota.;
Ø  Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa;  (Undang-Undang No. 32 tentang Pemerintahan Desa).
Sedangkan menyangkut tugas pembantuan yang harus dilakukan oleh pemerintah desa sebagai suatu wilayah otonom, sesuai pasal 207 Undang – undang 32 tahun 2004 menyebutkan ”Tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota kepada desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia”. 
Berangkat dari pengertian diatas tampak bahwa desa sebagai wilayah  yang memiliki otonomi tersendiri, ternyata pada satu sisi desa memiliki kewenangan/ tugas internal yakni kewenangan dalam mengelola manajemen  pemerintahan dalam desa, dan secara eksternal pada sisi lain desa juga menerima pelimpahan dan penyerahan tugas dari Pemerintah di atasnya yakni Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat.
Diharapkan mereka akan mampu melaksanakan tugas, wewenang dan kewajibannya, sehingga penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat di desa dapat berjalan dengan baik sesuai dengan prinsip tata pemerintahan yang baik. Kepala yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat (pamong), yang merupakan paradigma baru dan berbeda dari peran sebelumnya, yang hanya menekankan fungsi sebagai pangreh praja.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 pasal 12 ayat (2) menyebutkan, ”perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya” kemudian pada ayat (3) menyebutkan ”perangkat desa lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas :
1.      Sekretariat desa;
2.      Pelaksana teknis lapangan; dan
3.      Unsur kewilayahan.
Kepala Desa mempunyai Tugas, Wewenang, Kewajiban sebagai mana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 pasal 14 ayat (1) menyebutkan ”Kepala desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.” kemudian pada ayat (2) menyebutkan Kepala desa mempunyai wewenang:
1.      Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD;
2.      Mengajukan rancangan peraturan desa;
3.      Menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD;
4.      Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APBDes untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD;
5.      Membina kehidupan masyarakat desa;
6.      Membina perekonomian desa;
7.      Mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif;
8.      Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005).
Guna mencapai suatu tatanan penguatan manajemen pemerintahan desa yang sudah baik menjadi lebih baik lagi maka penyerahan urusan kewenangan kepada desa harus melalui langkah­-langkah strategis. Langkah-Iangkah tersebut yaitu:
1. inventarisasi kewenangan
2. penetapan kewenangan yang diserahkan
3. penetapan peraturan daerah kabupaten dan kota
4. perumusan sarana dan pembiayaan serta capacity building
5. sosialisasi pemerintahan desa
6. kesediaan pemerintahan desa dalam peraturan desa
7. penyerahan urusan
Langkah-Iangkah strategis tersebut digunakan untuk cepatnya pelayanan kepada masyarakat. Urusan kabupaten dan kota yang diserahkan ke desa merupakan hal-hal yang berkaitan langsung pada pokok-pokok persoalan masyarakat yang dalam hal ini adalah penerbitan surat ijin mendirikan bangunan (1MB), pengelolaan pasar desa, penerbitan ijin galian C, tujuan wisata pedesaan, pembersihan jalan-jalan kabupaten dan tepi sungai, penerbitan surat kenal lahir, pengaturan tata pemukiman dan pengelolaan hutan desa. Dengan adanya penyerahan urusan-­urusan tersebut maka diharapkan pemerintah desa dapat menjadi unit pelayanan pemerintahan terdepan yang dapat mengatur hal hal yang bersifat asli desa, sehingga keputusan final dapat langsung diambil oleh desa. (Eko Prasetyanto, 04 November 2009}
Desa mempunyai peran dan fungsi yang strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan serta pembinaan dan pelayanan masyarakat. Karena desa merupakan tempat bertemunya kebijakan pemerintah dan aspirasi dari masyarakat, tempat dikoordinasikannya program-program pembangunan yang masuk ke wilayah perdesaan. Disamping itu desa juga sebagai tempat terwujudnya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan, tempat pemberian pelayanan kepada masyarakat secara langsung dan  tingkat pemerintahan yang mendukung Pemerintahan Kabupaten.

4.   Manajemen Kinerja pada Organisasi Publik  

Manajemen kinerja (performance management) adalah suatu upaya untuk memperoleh dan meningkatkan hasil terbaik dari tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu organisasi, kelompok dan individu-individu melalui pemahaman dan penjelasan kinerja dalam suatu kerangka atau tujuan-tujuan terencana, standar dan persyaratan-persyaratan atribut atau kompetensi yang disetujui bersama. Manajemen kinerja bersifat menyeluruh dan menjamah semua elemen, unsur atau input yang harus didayagunakan oleh organisasi dan manajemen untuk meningkatkan kinerja organisasi. Dengan kata lain, manajemen kinerja berhubungan dengan perencanaan strategis, anggaran keuangan pengembangan pegawai, dan program peningkatan kualitas. Manajemen kinerja memberi dasar bagi pengelolaan pegawai secara efektif dan memberi layanan bermutu bagi customer dan atau pengguna sebab semua orang bekerja dalam kapasitas penuh serta bergerak ke arah yang sama.
Untuk menghasilkan kualitas kerja yang optimal, salah satu indikatornya akan dipengaruhi oleh sikap dan perilaku manajemen eksekutif (
Mirriam Sjofyan Arif, dkk, 2005).
Merencanakan, mengorganisasikan, memimpin, dan mengendalikan adalah tindakan simultan dan saling berhubungan, yang akan membawa pada peningkatan hasil kinerja. Intensitas penerapan sikap dan perilaku yang bermutu merupakan filosofi untuk mengubah paradigma manajemen eksekutif lama yaitu dari sikap dan perilaku yang dilayani, menjadi manajemen eksekutif yang melayani publik secara bermutu (prima).

D. Metodologi Penelitian
Pada bagian ini akan membahas tentang berbagai aspek metodologi yang menjadi landasan pada penelitian ini, yaitu metode penelitian, metode pengambilan data, dan metode analisis data.
1.       Metode Penelitian
Penelitian yang dijalankan selama waktu 5 bulan April 2009 – Agustus 2009 ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dimana, menurut Bogdan dan Taylor dalam  Maleong     (2000, 3) dikatakan bahwa penelitian deskriftif adalah penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati yang selanjutnya diiterpretasikan oleh peneliti, jadi dalam hal ini ingin mengungkapkan gambaran riil yang ada dilapangan dengan menganalisis data yang tersedia.
2.       Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk memperoleh data antara lain dengan metode wawancara mendalam (indepth interview)  dan metode observasi. Metode wawancara dalam hal penelitian ini dilakukan menggunakan pertanyaan-pertanyaan secara lisan kepada unit analisis dengan menelusuri hasil interview yang berkembang. Artinya, wawancara dapat berkembang sesuai situasi objek materi yang berkembang. Sedang observasi dilaksanakan secara langsung di lapangan untuk mendapatkan informasi atau data populasi penelitian baik yang berupa obyek maupun subyek yang ada kaitannya dengan penelitian ini. Alasan penggunaan metode ini antara lain adalah metode yang digunakan mudah dan praktis untuk mengumpulkan data primer (Indriantoro dan Supomo, 2009).
3.       Metode Analisis Data
Metode pertama untuk menganalisisa data dan informasi yang berhasil dikumpulkan peneliti adalah teknik analisa data trianggulasi, yaitu:
a.       Trianggulasi metode: jika informasi atau data yang berhasil didapatkan (misalnya dari wawancara) perlu diuji kebenarannya dengan hasil observasi.
b.      Trianggulasi sumber : jika informasi tertentu, misalnya ditanyakan kepada responden yang berbeda atau dengan bukti dokumentasi.
c.       Trianggulasi situasi : bagaimana penuturan seorang responden jika dalam keadaan ada orang lain dibanding dengan dalam keadaan sendirian.
d.      Trianggulasi teori : apakah ada keparalelan penjelasan dan analisis atau tidak  antara satu teori dengan teori yang lain terhadap data hasil penelitian (Hamidi, 2004, 83).
Metode kedua yang dipergunakan pada penelitian ini adalah studi komparasi, yaitu penelitian yang bertujuan mengetahui kondisi dari perbandingan antara dua atau lebih data, yaitu data-data dari hasil interview dan observasi di ketiga desa/ kalurahan. Dalam hal ini hasil perbandingan obyek yang diteliti, kemudian didapatkan hasil terbaik dari pelaksaknaan pemerintahan desa

E.     Pelaksanaan Manajemen pemerintahan Desa

1.      Dari sisi kemampuan anggaran, Desa Plipir memiliki kemandirian anggaran sebesar 61,1% dari RAPBDesnya, kemudian disusul Desa Wonotulus dengan tingkat kemandirian sebesar 53,3%. Sedang Kalurahan Paduroso kemandirian anggarannya masih di bawah target, yaitu 48,89%. Kemampuan desa Plipir ini ditopang oleh kesadaran masyarakatnya terhadap pembangunan desanya. Semangat gotong royong dan kemandirian ekonomi desa menjadi kunci dari keberhasilan desa di dalam mengatasi kecukupan APBDes/ APBKal-nya.

2.      Jika ditinjau dari kerjasama dengan BPD dalam hal penetapan perencanaan program dan RAPBDes/RAPBKal masing-masing pemerintah desa/ kalurahan, survey menunjukkan bahwa masing-masing desa telah melakukan kerjasama dengan BPD. Bahkan BPD difungsikan sebagai mitra kerja bagi pemerintah desa/ kalurahan. Hanya tingkat kualitas kinerjanya yang berbeda, karena hal ini berkaitan dengan SDM BPD.

3.      Dalam hal pemberdayaan masyarakat, strategi yang ditempuh pemerintah desa/ kalurahan hampir sama, yaitu mengefektifkan swadaya masyarakat, terutama untuk dana pembanguna desa. Selain itu masing-masing desa/ kalurahan menempuh jalan:  Desa Plipir lebih mengefektifkan pendapatan gotong royong. Sementara pemerintah desa Wonotulus menempuh upaya penyisihan imbal balik PBB agar mampu menyokong kebutuhan desa. Pemerintah kalurahan Paduroso pungutan pologoro dari penjualan tanah masyarakat.

4.      Peningkatan ekonomi pedesaan, secara umum dari sample, observasi dan wawancara menunjukkan bahwa pemerintah desa belum menjalin kemitraan dengan investor, baik lokal maupun luar desa untuk mengembangkan potensi di wilayah desa/ kalurahannya. Sumber daya alam, baik pertanian maupun potensi perdagangan (pasar tradisional) belum digarap secara maksimal. Pada hal, potensi ini akan mendatangkan kemakmuran bagi warganya, dan sekaligus akan memberi masukan keuangan (retribusi) kepada pemerintah desa/ kalurahan.


F.     Strategi untuk mengimplementasikan manajemen pemerintah desa/ kalurahan:

1.      Masing-masing desa/ kalurahan telah membuat perencanaan program kerja dan anggaran di setiap tahunnya bersama-sama dengan Badan Perwakilan Desa (BPD) dengan mengacu pada Visi, Misi dan Renstra masing-masing pemerintah desa/ kalurahan.
2.      Membuat deskripsi kerja kepada masing-masing aparat, dan dievaluasi kinerjanya pada setiap tahunnya (fungsi controlling). Persoalan yang dihadapi adalah kompetensi SDM yang masih kurang, sehingga pelaksanaan kinerja SDM berjalan tidak maksimal. Ini berakibat pada hasil kinerja yang masih berada di bawah standar.
3.      Koordinasi program kerja (fungsi actuating) belum dapat dilaksanakan secara optimal, terutama pada koordinasi program kegiatan. Lemahnya fungsi ini ini dikarenakan kemampuan dan kompetensi SDM kepala desa/ lurah dan perangkat desa yang kurang memadai. Keadaan ini berdampak pada ketidakterlaksananya program evaluasi kegiatan kepemerintahan. Pada hal kunci pokok untuk meningkatkan kinerja manajerial pemerintahan desa terletak pada keberhasilan dalam evaluasi dan program perbaikan kegiatan manajerial.
4.      Dari sisi kepemimpinan, lurah dan/ atau kepala desa adalah top figure yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan perangkat desa lainnya. Secara manajerial hal ini tidak baik, karena posisi ini menempatkan kepala desa/ lurah sebagai pangreh praja yang serba bisa. Kondisi ini berakibat sering terjadi lurah/ kepala desa kurang mendelegasikan pekerjaan dan wewenangnya kepada staf-stafnya. Bahkan stempel desa/ kalurahan sampai dibawa ke rumahnya. Hal ini terjadi, karena kantor kalurahan/ desa setiap hari tidak buka secara optimal (jam kerja); SDM aparat kalurahan/ desa yang kurang termotivasi kerjanya; budaya masyarakat yang pragmatis kepada kepala desa/ lurahnya.

G.    Kebijakan investasi, proses pengambilan keputusan, dan prioritas program kerja dari masing-masing desa/ kalurahan adalah:

1.      Kebijakan investasi. Masing-masing pemerintah desa/ kelurahan belum menggarap potensi wilayahnya agar dapat mendatangkan investor. Kalurahan Paduroso yang memiliki akses ke kota cukup dekat (3 km) belum menjadi keunggulan daya saing di dalam peningkatan taraf hidup masyarakat dan perndapat kalurahan. Potensi pasar desa yang dikelola oleh pemerintah desa belum digarap secara optimal. Pada hal potensi ini ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan taraf hidup ekonomi masyarakatnya dan mampu mendatangkan investor dari luar daerahnya.
2.      Pengambilan keputusan. Fungsi lurah/ kepala desa sebagai top manager dituntut untuk menjadi pimpinan yang serba bisa. Akibatnya keputusan-keputusan kalurahan/ desa seringkali tanpa melalui mekanisme rapat desa/ kalurahan dan rapat koordinasi dengan BPD. BPD sendiri sering hanya berfungsi sebagai simbol, belum berfungsi sebagai wakil dari masyarakat.
3.      Prioritas program kerja. Walaupun masing-masing kalurahan/ desa setiap tahun membuat rencana program kerja pembangunan, namun penentukan skala prioritas belum menjadi program yang utama. Rata-rata mereka menjalankan program kerja berdasar rutinitas di setiap tahunnya. Skala prioritas hanya dijalankan ketika kelurahan/ desa sedang menghadapi masalah/ proyek besar, contoh: bencana longsor, angin puting beliung, pilihan kepala desa, dan lain-lain.

H. Kesimpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan pada hasil penelitian dan analisis yang dilakukan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Strategi yang dapat digunakan dalam mengupayakan pengelolaan sumber daya yang ada dalam rangka optimalisasi penerapan manajemen pemerintahan desa/ kalurahan adalah :
a.       Membuat perencanaan program, koordinasi program, pengendalian program, dan evaluasi program yang dapat mendorong pengelolaan sumber daya yang ada. Dalam hal ini, peran swadaya masyarakat dikembangkan di dalam pembangunan desa/ kalurahan. Pemerintah desa/ kalurahan mampu mengangkat martabat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.
b.      Peningkatan tingkat pendapatan masyarakatnya dengan melalui program P2KP, UED, koperasi desa, dan lain-lain.
c.       Menjalin kemitraan dengan investor untuk mendayagunakan potensi sumber daya alam di desa/ kalurahan.
2.      Strategi yang digunakan untuk implementasi manajemen pemerintahan desa/ kalurahan adalah :
a.       Menjalankan proses otonomi pemerintahan desa dan kelurahan.
b.      Melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah (Kabupaten Purworejo) yang ada untuk lebih cepat mengakses informasi yang ada.
c.       Mengubah pola kepemimpinan yang ada menjadi pola kepemimpinan partisipasif dan demokratis dengan berbasis pada budaya setempat..
d.      Pengelolaan perangkat desa yang perlu ditingkatkan oleh kepala desa/ lurah untuk memaksimalkan potensi yang dimilikinya..
e.       Memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada secara optimal.
3.      Implementasi visi, misi, dan renstra sebagai pedoman manajemen pemerintahan desa/ kalurahan dari Kalurahan Paduroso, Desa Plipir, dan Desa Wonotulus adalah:
a.       Pada kebijakan investasi, masing masing desa/ kalurahan harus mampu mengeksplorasi potensi desanya. Upaya ini bisa dijalankan dengan cara : menjalin kemitraan dengan investor; memberdayakan masyarakat agar memiliki kemandirian secara ekonomi, memanfaatkan potensi alam untuk dijadikan basis usaha, dll.
b.      Di dalam proses pengambilan keputusan, pemerintah Kalurahan Paduroso, Desa Plipir, dan Desa Wonotulus melakukan berdasar pada regulasi dari Pemerintah Kabupaten Purworejo. Setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah desa terlebih dahulu dibahas dan disyahkan oleh BPD.
c.       Idealnya prioritas program kerja dari masing-masing desa/ kalurahan selalu berpedoman atas rencana operasi dan rencana strategis desa/ kalurahan. Namun implementasi hal tersebut belum dijalankan secara konsekuen, bukan program-program yang bersifat rutinitas dari tahun ke tahun.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, H.M. Syukur. (1990). Prospek dan Implikasi Penegasan Otonomi di Daerah: Tinjauan Teoritis dalam Merangkai Masa Depan Otonomi Daerah. Jakarta: Balitbang Depdagri.
Bacal, Robert. (2001). Performance Management. Terj. Surya Dharma dan Yanuar Irawan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Effendy, Oyong Uchjana., (1977), Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Frinces, Z. Heflin., (2008), Manajemen, Konsep Membangun Sukses, Yogyakarta: Mida Pustaka
Hamidi, (2005), Metode Penelitian Kualitatif, Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian, Malang: Penerbitan UMM.
Indriantoro, Nur dan Supomo, Bambang, (2009), Metodologi Penelitian untuk Akuntansi dan Manajemen, Yogyakarta : BPFE
Kushandajani, (2001), Manajemen Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Maleong, Lexy J., (2000), Metode Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya
Mirrian Sjofyan Arif. dkk, 2005, Manajemen Pemerintahan, Jakarta: Universitas Terbuka, )
Purnomo, Joko., (2001), Menuju Tata Pemerintahan yang Baik, Bandung: Bumi Aksara
Rozaki, Abdur, dkk, (2004), Memperkuat Kapasitas Desa dalam Membangun Otonomi, Cetakan kesatu, Yogyakarta: IRE
Surundajang, (2003), 10 Prinsip Pemerintahan yang Baik, Jakarta: Erlangga
Widodo, (2005), Evaluasi Kebijakan Publik, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar