Minggu, 19 Juni 2011

KONPETENSI SDM


INDIVIDUAL COMPETENCY FOR CHANGE
Oleh: Wahyu Purhantara



  • Kompetensi adalah hal-hal yang mendasari efektivitas kinerja individu dalam pekerjaannya. Komnpetensi individu merupakan sesuatu hal yang melekat dalam dirinya yang dapat digunakan untuk memprediksi tingkat kinerjajnya (Spencer, 1993).
  • Kompetensi seringkali diterangkan sebagai pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai yang telah menjadi cara bertindak dan berfikir seseorang.
  • Kompetensi tidak cukup dilafalkan, tetapi sungguh dimengertai dan telah menjadi bagian dirinya (Paul Suparno, 2002).
  • Contoh dalam kompetensi SDM: motif, konsep diri, sifat, pengetahuan, dan keahlian.
  • Keahlian dan pengetahuan dapat diperoleh melalui proses pendidikan, sedangkan sikap dapat diketahui saat proses seleksi SDM. 

4 KOMPETENSI
(PAUL SUPARNO, 2002)

Kompetensi keahlian
  • Pekerja harus benar-benar menguasai bidang keahliannya dan menguasai kompetensi bidang yang digelutinya.
  • Contoh: manajemen, komputer, arsitektur, hukum, dll.

Kompetensi dalam sikap kerja atau etos kerja
  • Kompetensi ini menyangkut nilai-nilai ataupun sikap yg telah menjadi bagian dari cara hidup dan cara kerja seseorang.
  • Contoh: keahlian dlm mengambil keputusan scr tepat, memilih bidang bisnis, bekerja scr efektif & efisien, dll

Kompetensi dalam bekerjasama dengan orang lain
  • Kemampuan pekerja untuk dapat bekerjasama dengan orang lain sangat ditekankan dalam kompetensi ini.
  • Contoh: keahlian melobi, bekerja dalam teamwork, dll

Kompetensi untuk mengekspresikan diri
  • Kemampuan seseorang untuk menampilkan dirinya sendiri sesuai dengan bakat dan minatnya.
  • Contoh: para pekerja seni, para entreprenerur, dll

KOMPETENSI INDIVIDU
KEMAMPUAN DAN KETRAMPILAN
  • Kebugaran fisik & etos kerja
  • Pendidikan & pelatihan
  • Pengalaman kerja

MOTIVASI & ETOS KERJA
  • Bekerja sbg keterpaksaan
  • Bekerja sbg tantangan dan memberi kepuasan

Minggu, 12 Juni 2011

Budaya Organisasi


BUDAYA ORGANISASI DALAM IMPLEMENTASI ORGANISASI BISNIS
Oleh Wahyu Purhantara
Publikasi: Analisis Kelayakan Bisnis, Yogyakarta: BMC Ofset, 2007




Kinerja perusahaan salah satunya ditentukan kondisi budaya organisasi. Sebagai aset tak berwujud (intangible), budaya organisasi adalah piranti lunak korporat yang mampu mendorong kinerja semua lini perusahaan. Lusch dan Harvey (1994) di dalam penelitiannya menyebutkan bahwa peningkatan kinerja organisasi dapat dipengaruhi oleh aset tak berwujud, antara lain: budaya korporat (corporate culture), hubungan dengan pelanggan (customer relationship), dan citra korporat (brand equity). Tahun 1989, O’Reilly juga pernah meneliti keterkaitan antara budaya organisasi atau perusahaan dengan kinerja perusahaan. Menurut O’Reilly, budaya organisasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap efektivitas kinerja organisasi, terutama organisasi yang memiliki budaya organisasi yang sesuai dengan strategi organisasinya. Kedua software ini mampu meningkatkan komitmen karyawan kepada organisasinya. Pendapat ini didukung oleh hasil penelitiannya Kotter dan Heskett (1994). Kedua sepakat bahwa budaya organisasi mempunyai dampak signifikan terhadap kinerja ekonomi organisasi dalam jangka panjang. Menurutnya, budaya organisasi merupakan faktor penting di dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan organisasi di masa yang akan datang. Namun menurut Robbins, kedua piranti (budaya organisasi dan kinerja korporat) dalam kasus tertentu kurang miliki hubungan yang jelas. Keduanya akan berpengaruh jika budaya organisasi bersifat informal, kreatif, dan mendukung penanganan risiko dan konflik untuk melahirkan budaya kreatif (1994).
1.  Pengertian budaya organisasi
Memahami tentang budaya organisasi tidak mudah dengan melalui kajian yang singkat. Untuk mengartikannya kita dapat mendefinisikan tentang budaya terlebih dahulu. Budaya, menurut Stoner (1995), diartikan sebagai suatu gabungan yang komplek dari berbagai asumsi, tingkah laku, cerita, mitos, metafora, dan berbagai ide lain yang manjadi satu ketentuan dan diyakini oleh masyarakat tertentu. Dari pengertian ini dapat dikembangkan bahwa di dalam budaya termasuk smua tata cara, kepercayaan, nilai, norma yang terorganisasi dan presmis-premis lain yang diyakini bersama oleh anggota organisasi.
Berangkat dari pengertian budaya di atas, dan kemudian dikaitkan dengan organisasi, maka Schein (1985) berpendapat bahwa budaya organisasi mengacu pada sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggotanya, dan ini menjadi pembeda terhadap organisasi yang lain. Kreitner dan Kinicki mendefinisikan budaya organisasi sebagai perekat organisasi berupa nilai-nilai yang harus ditaati (1992). Mondy secara eksplisit memperjelas pengertian di atas, bahwa budaya organsasi sebagai suatu sistem nilai-nilai, keyakinan, dan kebiasaan bersama dalam organisasi yang berinteraksi dengan struktur formal untuk menghasilkan norma perilaku (1993). Sejalan dengan pendapat ini, Djokosantosa Moeljono (2003) mengartikan bahwa budaya organisasi adalah sistem nilai-nilai yang diyakini oleh semua anggota organisasi dan yang dipelajari, diterapkan, dan dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan dapat dijadikan acuan berperilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan.
Berdasar berbagai pengertian di atas, maka dapatlah ditarik benang merah bahwa budaya korporat adalah seperangkat sistem nilai-nilai, keyakinan, dan kebiasaan yang diyakini, dipelajari, dijalankan, dipertahankan dan dikembangkan oleh organisasi yang berguna untuk mempererat ikatan internal dan adaptasi eksternal dalam rangka mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh organisasi. Atas dasar pengertian ini dapat dikupas, pertama, secara struktur,  budaya korporat terdiri dari empat pilar, yaitu: asumsi dasar, persepsi, adaptasi, dan pembelajaran. Kedua, secara fondamental, budaya korporat memiliki tiga dasar, yaitu: filosofi (sistem nilai), fungsi internal, dan fungsi strategis.

                               BUDAYA KORPORAT
ASUMSI DASAR

PERSEPSI

ADAPTASI

PEMBELAJARAN
                              FILOSOFI (SISTEM NILAI)
                                   FUNGSI INTERNAL
    FUNGSI EKSTERNAL
        (Gambar  Rumah Budaya Korporat)

2.      Peranan Budaya Organisasi
Budaya organisasi memiliki peran yang besar di dalam menumbuhkembangkan organisasi. Disamping berfungsi sebagai dasar membangun kebersamaan dan nilai baku organisasi, budaya juga menjadi pembeda, identitas,  dan pemicu bagi organisasi di dalam mengembangkan strateginya. Robbins (1990) mengemukakan bahwa budaya organisasi berperan: pertama, sebagai pembeda antara korporat yang satu dengan lainnya; kedua, sebagai identitas bagi anggota-anggota organisasinya; ketiga, sebagai motivator untuk munculnya komitmen kebersamaan; dan keempat, sebagai perekat sistem sosial organisasi. Pernyataan Robbins ini memang reasonable, karena budaya organisasi sebagai suatu sistem sosial akan menyatukan semua komponen di dalam organisasi untuk membentuk kebersamaan, dan ini merupakan identitas diri dari mereka yang membedakan mereka dengan organisasi lainnya.
Sementara itu, Siagian (1995) berpendapat bahwa budaya organisasi menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anggota organisasi; menentukan batas-batas normatif perilaku anggota organisasi; menentukan sifat, bentuk pengendalian dan pengawasan organisasi; menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh anggota organisasi; menentukan cara kerja yang tepat; dan sebagainya. Ungkapan Siagian ini lebih bersifat pada bentuk norma-norma yang hidup, mentradisi, dan dianut oleh anggota organisasi. Semua norma dilestarikan, dianut, dan dipergunakan sebagai suatu ketentuan dan mekanisme baku dalam kehidupan organisasi.
Dengan kata lain, budaya organisasi lebih dititikberatkan peranannya pada upaya mempererat sistem sosial untuk membangun identitas diri dan nilai-nilai kebersamaan. Dalam hal seperti ini, budaya organisasi dapat berfungsi pula sebagai alat (tool) kontrol terhadap semua anggota organisasi. Artinya, perilaku dan kinerja anggota organisasi dapat dikendalikan melalui sistem dan norma yang telah mentradisi di organisasi. Dengan demikian, sebutan orang yang berbudaya adalah orang yang mampu secara sadar dan dapat menjalankan tradisi organisasi secara cerdas, yaitu sesuai dengan nilai, norma, dan sistem yang hidup di organisasi tersebut. Inilah yang membedakan dirinya (identitas diri) dengan anggota di korporat yang lain.
Walau demikian, budaya organisasi dapat dirubah, dibentuk dan diciptakan. Namun proses perubahan dan proses penciptaan budaya organisasi yang baru sangat sulit dan kerja keras. Jika perubahan dan penciptaan budaya organisasi sebagai media pengembangan organisasi dan  bertujuan agar budaya organisasi yang baru lebih adaptif, kohesif, efektif, dan dinamis selaras dengan perkembangan lingkungan bisnis, maka proses itu dapat dijalankan. Kata kunci dari proses itu adalah sosialisasi, pembelajaran, dan keteladanan dari berbagai level. Budaya organisasi yang statis dan tidak mau menerima perubahan lingkungan bisnis, adalah budaya yang secara jelas tidak akan mendukung strategi organisasi. Ia jelas tidak akan menerima alih teknologi, perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Pada hal budaya organisasi sebagai suatu sistem harus menjadi pengimbang sistem organisasi (balanced of organizatio  system) dari perbagai perubahan lingkungan bisnis. Untuk itu perlu diciptakan budaya organisasi yang sensitiveness and responsiveness terhadap dinamika bisnis.
Bagaimana cara dan metode untuk menciptakan budaya organisasi yang seperti itu, Anderson dan Kryprianou (1994) memberikan resep, bahwa budaya organisasi yang kohesif dan efektif tercermin pada: bagaimana membangun kepercayaan, menerapkan keterbukaan komunikasi; kepemimpinan yang demokratis dan aspiratif (supportive and considerate leadership) yaitu kepemimpinan yang selalu mendapat dukungan dari bawahan dan mendapat masukan; tradisi pemecahan persoalan oleh kelompok; membangun kemandirian dalam bekerja, dan saling bertukar informasi. Pola budaya organisasi yang demikian ini akan membentuk budaya organisasi lebih bersifat terbuka, adaptif, dan akan mudah menerima perubahan dan dinamika bisnis.

Jumat, 10 Juni 2011

Pemasaran


MANAJEMEN PENJUALAN
Peramalan dan Perencanaan Penjualan
Oleh: Wahyu Purhantara

Sales Forecasting dan Sales Planning
Sales Forecasting merupakan proyeksi teknis tentang permintaan pelanggan potensial di waktu mendatang dengan menggunakan asumsi-asumsi tertentu. Penyusunan peramalan penjualan merupakan aspek mendasar bagi penyusunan anggaran penjualan, sehingga penghitungan peramalan penjualan diperlukan orang yang ahli di bidangnya. Dasar penghitungan peramalan penjualan didasarkan pada data base penjualan di masa yang lalu, kemudian diadakan ekstrapolasi kecenderungan (trend). Hasil analisis trend ini merupakan hasil peramalan yang mungkin akan ditolak, dimodifikasi, atau diterima oleh pihak manajemen.
Sales Planning. Apabila sales forecasting diterima oleh pihak manajemen, maka langkah selanjutnya adalah membuat rencana penjualan dengan mengambil data dari hasil peramalan penjualan. Rencana penjualan merupakan keputusan manajemen yang memuat tentang peramalan penjualan, target atau volume penjualan, harga jual, usaha-usaha penjualan, produksi atau operasi, dan keuangan.
Didalam pembuatan sales planning, pihak manajemen tidak semata-mata menggunakan data kuantitatif hasil sales forecasting. Pihak manajemen harus memasukkan berbagai hal yang bersifat kualitatif, seperti faktor pengalaman, faktor kondisi manajemen dan politik perusahaan, faktor ekonomi, tingkat persaingan, dll. Hal ini dimaksudkan agar rencana penjualan dapat realistik dan komprehensif.

Rencana Penjualan Strategis dan Taktis
Sesuai misi dari penganggaran bisnis, yakni perencanaan dan pengendalian laba, maka perencanaan penjualan jangka pendek (taktis) harus dibuat dengan mengacu pada perencanaan penjualan jangka panjang (strategis).
a. Perencanaan penjualan jangka panjang merupakan langkah awal dari semua rencvana penjualan. Perencanaan ini mengacu pada Rencana Setrategik perusahaan, sehingga perencanaan penjualan jangka panjang disusun untuk waktu 5 atau 10 tahun ke depan. Penyusunan perencanaan ini memerlukan analisis yang mendalam, terutama berkaitan dengan: populasi penduduk, perkembangan perkonomian, proyeksi industri, perkembangan teknologi, perubahan-perubahan di pasar, dan lain-lain. Analisis ini benar-benar dikerjakan secara cermat dan komprehensif dengan melibatkan berbagai kecenderungan. OKI perencanaan ini akan memiliki pengaruh pada: kebijakan tentang harga jangka panjang, pengembangan volume produksi, inovasi produk, arah usaha pemasaran, ekspansi dan perubahan saluran distribusi, pola-pola biaya, dll. 
b. Perencanaan penjualan jangka pendek merupakan perencanaan anggaran penjualan yang bersifat taktis dan berumur satu tahun, dengan mengacu pada perencanaan penjualan jangka panjang. Perencanaan ini kemudian dipecah menjadi empat triwulan, dan triwulan pertama dirinci menjadi rencana per bulan. Setiap akhir periode (triwulan atau bulan) diadakan evaluasi. Hasil evaluasi ini dipergunakan untuk merevisi rencana penjualan pada periode selanjutnya. Rencana penjualan jangka pendek biasanya disusun dengan menunjukkan jenis produk, harga per unit, jumlah penjualan