Minggu, 29 Mei 2011

REINVENTING ORGANIZATION


PENATAAN  ULANG ORGANISASI DENGAN
MODERN QUALITY MANAGEMENT

Wahyu Purhantara
Program Studi Manajemen STIE Mitra Indonesia Yogyakarta
Dipublikasikan: Jurnal Solusi, Kajian Ekonomi dan Bisnis, Vol.5, No.1.
Tahun 2010, Yogyakarta: STIE SBI

Abstract

Changing business environment always force any business organization, both in manufacture as well as in service, to make adjustments. These are related to the future and survival of the organization. For a developing organization, along with its live cycle, it must reorganized itself. There fore, there should be a reconsideration to the culture  of the organization, its vision and mission, and its commitment to reinventing organization.
Modern quality management (MQM) is one of the solutions offered to rearrange the organization. The MQM concept will transform all components of the organization, so that will be able to create any changes in order to develop, have competitive advantages and provide satisfaction to customers.

Keyword: reinventing organization, change management, and modern quality management

Latar Belakang
Lingkungan persaingan saat sekarang ini sangatlah dinamis dan bergejolak. Dinamis, kondisi persaingan dipengaruhi oleh banyak sisi (pendatang baru, subtitusi, konsumen, pemasuk, pesaing industri) dan berjalan sangat cepat (tidak mengenal waktu). Bergejolak, kondisi persaingan tidak dapat diikuti iramanya, karena kondisinya tidak menentu yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan makro dan mikro. Ini dapat kita lihat adanya perubahan-perubahan mendasar organisasi pada sisi kontruksi, ide, struktur, dan pola-pola hubungan dalam tubuh organisasi. Untuk mempercepat proses percepatan perubahan, organisasi melakukan identifikasi pada faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan organisasi. Tentu saja upaya ini akan menimbulkan pertanyaan banyak pihak, ketika organisasi melakukan reidentifikasi untuk melakukan penataan ulang sebagai upaya percepatan perubahan organisasi.  
Bagi organisasi yang tidak memiliki sifat responsivitas yang tinggi otomatis akan digilas oleh perubahan, dan otomatis hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja organisasi. Jika dikaitkan dengan life cycle organization, maka usia organisasi akan mengalami decline pada usia yang belum tua. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan bagi seluruh stakeholders organisasi.
Kondisi seperti inilah yang memaksa seluruh stakeholders  memikirkan dan melakukan pengkajian terhadap pertumbuhan dan/ atau perkembangan organisasi. Dari pengkajian ini akan diperoleh : 1) permasalahan internal dan eksternal yang dihadapi organisasi, 2) pemetaan penyakit organisasi dibandingkan dengan kondisi persaingan organisasi.
Permasalahan internal organisasi akan mengungkap kelemahan-kelemahan organisasi yang diakibatkan oleh menurunnya kinerja sumber daya (faktor-faktor internal) yang dimilikinya. Pengkajian internal ini sangat penting, mengingat sumber daya merupakan bahan baku untuk mengoperasikan organsiasi. Sementara faktor-faktor eksternal dianalisis untuk mengukur ancaman dan peluang, terutama ketika organisasi sedang mengalami kompetisi yang begitu ketat.
Pemetaan penyakit organisasi  dilakukan dengan menganalisa seluruh aspek organisasi dan posisi bersaing. Dari proses ini akan diperoleh sampai dimana tahapan pertumbuhan organisasi, karena dari pemetaan ini akan diketahui penyakit-penyakit yang menghinggapi organisasi. Pemetaan ini penting untuk dibuat karena penyakit organisasi akan berhubungan dengan tingkat kesiapan sumber daya pada tahapan usia organisasi. Efek pengaruh perubahan lingkungan akan berpengaruh pada gagasan, struktur, dan pola hubungan serta pola operasi organisasi.
Life Cycle Organization
Penataan ulang organisasi sebagai langkah dari percepatan perubahan organisasi dengan menggunakan treatment yang dilakukan dengan memanfaatkan ciri-ciri pertumbuhan organisasi. Perlu diingat bahwa organisasi sering terjebak untuk melakukan desain dengan hanya mengulangi atau menjiplak gagasan, struktur, dan operasi yang pernah dikembangkan pada waktu yang lalu. Pada hal tantangan dan konteks persaingan yang dihadapi jelas telah berubah. Seharusnya, jikalua organisasi akan memenuhi tantangan dan dalam konteks menuju organisasi yang siap berubah, maka gagasan, ide, dan desain perubahan tidak sekedar alat untuk mencapai tujuan. Semua perangkat lunak ini harus didesain sesuai dengan konteks kekinian, selaras dengan dinamika persaingan organisasi, dan disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan organisasi (yang sesuai dengan visi dan misi organisasi).
Sejumlah pakar manajemen dan organisasi telah memperingatkan dan memberikan tanda awas untuk segera membuat langkah penataan ulang organisasi. Satu organisasi yang unggul ditandai oleh orang-orang yan g mempunyai komitmen yang tinggi, dan tahu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan (Kotler, 1994). Pendapat ini memperkuat hasil penelitian Kotler dan Hesket, bahwa organisasi yang unggul adalah organisasi yang mampu menciptakan dan menjaga situasi dari setiap komponen organisasi dengan lingkungan bersaingnya (Kotler dan Hesket, 1992).
Dalam telaah-telaah  organisasi berdasarkan perbandingan antara usia organisasi dengan ukuran dan kompleksitasnya, sejumlah pakar mencatat adanya kesamaan pola-pola tertentu dalam organisasi. Melalui kajian tersebut dirumuskanlah teori fase atau tahapan pertumbuhan organisasi, yaitu: pertama, setiap organisasi bertumbuh melalui satu tahapan (fase pertumbuhan); kedua, setiap fase pertumbuhan akan menciptakan krisis tersendiri, karena setiap fase akan diakhiri oleh suatu krisis; ketiga, jika krisis dapat diatasi dengan tepat, maka berkahirnya krisis merupakan awal dimulainya suatu fase atau tahapan baru dalam organisasi.
Menurut Greiner, secara umum organisasi bertumbuh melalui tahapan atau fase krisisnya sebagai berikut:
 
















Gambar 1
Tahapan Pertumbuhan Organisasi Menurut Greiner


Ø  Fase kreativitas, berakhir dengan krisis kepemimpinan
Ø  Fase pengarahan, berakhir dengan krisis otonomi
Ø  Fase pendelegasian, berakhir dengan krisis pengendalian
Ø  Fase koordinasi, berakhir dengan krisis red tape crisis
Ø  Fase kolaborasi, dalam teori Greiner tidak dijelaskan krisis yang mengakhiri fase ini.
Suatu krisis akan ditandai oleh sejumlah gejala, diantaranya adalah : terjadinya konflik yang berlarut-larut dan terus menajam, retaknya kohesivitas kelompok, menurunnya kinerja organisasi, serta tidak tercapainya target-target organisasi. Kelambanan dan kegagalan dalam menangani krisis akan mengarahkan organisasi pada puncak krisisnya. Jika krisis tidak dapat direspon dengan tepat, maka niscaya organisasi akan mengalami kemunduran, atau exit from live cucle organication.
Namun, tidak semua organisasi tumbuh dan berkembang melalui track atau tahapan dan krisis-krisis tersebut secara berurutan, karena bisa saja fase dilompati atau tidak diakhiri dengan krisis. Pada akhir tahapan dari teori Greiner, tidak ada penjelasan tentang kelanjutan dari teorinya tentang krisis ini. Apa yang bakal terjadi sesuadah tahapan kolaborasi. Sejumlah ahli manajemen sependapat bahwa pasca sesudah fase kolaborasi, organisasi akan tumbuh dari awal kembali secara organistik, bukan secara mekanistik.


Tabel 1
Perbedaan Proses Mekanistik dan Proses Organistik

Proses Mekanistik
Indikator organisasi
Proses Kolaborasi
Sentralistik
Kesenangan
Desentralistik
Banyak
Peraturan dan prosedur
Sedikit
Sempit
Rentang kendali
Lebar
Terspesialisasi
Tugas
Disebar
Sedikit
Tim dan Gugus Tugas
Banyak
Formal dan impersonal
Koordinasi
Informal dan Profesional


Melalui fase-fase di atas, organisasi dalam jenis apapun bertumbuh pada setiap fase dikembangkan strategi, struktur, sistem, proses, dan perilaku (kultur) yang berbeda sebagai respon terhadap ukuran (size) dan kompleksitas organisasi serta tantangan lingkungannya. Namun perlu dicatat bahwa struktur, sistem, proses, dan perilaku (kultur) yang berhasil pada suatu fase, belum tentu akan berhasil pada suatu fase yang lainnya.
Agar organisasi tidak jatuh ke dalam krisis, maka setiap organisasi harus merespon gejala krisis dengan tepat melalui pemetaan situasi dan faktor-faktor problematik yang signifikan mempengaruhi kinerja dan pencapaian target-target secara berkesinambungan, untuk kemudian melakukan pendekatan ulang yang disesuaikan dengan kompleksitas pertumbuhan organisasi dan perubahan lingkungannya.
Selain teori pertumbuhan organisasi, teori tentang daur hidup organisasi, juga dapat memberikan gambaran tentang pertumbuhan organisasi, yang sebenarnya merupakan hasil adaptasi dari teori daur hidup poduk.

 






























Gambar 2
Daur Hidup Organisasi

Kultur Organisasi
Salah satu faktor yang turut menentukan kemampuan organisasi mencapai keinerjanya yang tertinggi adalah dikembangkannya kultur organisasi yang kuat dan adaptif (think and adaptive culture) (Robbins, 2001).  Faktor kuat dan adaptifnya kultur organisasi jugalah yang menjadi jawaban para ahli, mengapa organisasi bisnis Jepang sejak tahun 1970an mampu bersaing dan bahkan mampu mengalahkan organisasi bisnis di Barat.
Budaya organisasi memiliki peran yang besar di dalam menumbuh-kembangkan organisasi. Disamping berfungsi sebagai dasar membangun kebersamaan dan nilai baku organisasi, budaya juga menjadi pembeda, identitas,  dan pemicu bagi organisasi di dalam mengembangkan strateginya. Robbins (2001) mengemukakan bahwa budaya organisasi berperan: pertama, sebagai pembeda antara korporat yang satu dengan lainnya; kedua, sebagai identitas bagi anggota-anggota organisasinya; ketiga, sebagai motivator untuk munculnya komitmen kebersamaan; dan keempat, sebagai perekat sistem sosial organisasi. Pernyataan Robbins ini memang reasonable, karena budaya organisasi sebagai suatu sistem sosial akan menyatukan semua komponen di dalam organisasi untuk membentuk kebersamaan, dan ini merupakan identitas diri dari mereka yang membedakan mereka dengan organisasi lainnya.
Sementara itu, Siagian (1995) berpendapat bahwa budaya organisasi menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anggota organisasi; menentukan batas-batas normatif perilaku anggota organisasi; menentukan sifat, bentuk pengendalian dan pengawasan organisasi; menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh anggota organisasi; menentukan cara kerja yang tepat; dan sebagainya. Ungkapan Siagian ini lebih bersifat pada bentuk norma-norma yang hidup, mentradisi, dan dianut oleh anggota organisasi. Semua norma dilestarikan, dianut, dan dipergunakan sebagai suatu ketentuan dan mekanisme baku dalam kehidupan organisasi.
Dengan kata lain, budaya organisasi lebih dititikberatkan peranannya pada upaya mempererat sistem sosial untuk membangun identitas diri dan nilai-nilai kebersamaan. Dalam hal seperti ini, budaya organisasi dapat berfungsi pula sebagai alat (tool) kontrol terhadap semua anggota organisasi. Artinya, perilaku dan kinerja anggota organisasi dapat dikendalikan melalui sistem dan norma yang telah mentradisi di organisasi. Dengan demikian, sebutan orang yang berbudaya adalah orang yang mampu secara sadar dan dapat menjalankan tradisi organisasi secara cerdas, yaitu sesuai dengan nilai, norma, dan sistem yang hidup di organisasi tersebut. Inilah yang membedakan dirinya (identitas diri) dengan anggota di korporat yang lain.
Walau demikian, budaya organisasi dapat dirubah, dibentuk dan diciptakan. Namun proses perubahan dan proses penciptaan budaya organisasi yang baru sangat sulit dan harus melalui kerja keras. Jika perubahan dan penciptaan budaya organisasi sebagai media pengembangan organisasi dan  bertujuan agar budaya organisasi yang baru lebih adaptif, kohesif, efektif, dan dinamis selaras dengan perkembangan lingkungan bisnis, maka proses itu dapat dijalankan. Kata kunci dari proses itu adalah sosialisasi, pembelajaran, dan keteladanan dari berbagai level manajemen. Budaya organisasi yang statis dan tidak mau menerima perubahan lingkungan bisnis, adalah budaya yang secara jelas tidak akan mendukung strategi organisasi. Ia jelas tidak akan menerima alih teknologi, perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Pada hal budaya organisasi sebagai suatu sistem harus menjadi pengimbang sistem organisasi (balanced of organization  system) dari perbagai perubahan lingkungan bisnis. Untuk itu perlu diciptakan budaya organisasi yang sensitiveness and responsiveness terhadap dinamika bisnis.
Bagaimana cara dan metode untuk menciptakan budaya organisasi yang seperti itu, Anderson dan Kryprianou (1994) memberikan resep, bahwa budaya organisasi yang kohesif dan efektif tercermin pada: bagaimana membangun kepercayaan, menerapkan keterbukaan komunikasi; kepemimpinan yang demokratis dan aspiratif (supportive and considerate leadership) yaitu kepemimpinan yang selalu mendapat dukungan dari bawahan dan mendapat masukan; tradisi pemecahan persoalan oleh kelompok; membangun kemandirian dalam bekerja, dan saling bertukar informasi (Indahwati Darsono, Desember 2002). Pola budaya organisasi yang demikian ini akan membentuk budaya organisasi lebih bersifat terbuka, adaptif, dan akan mudah menerima perubahan dan dinamika bisnis.

Implementasi Visi
Visi adalah alasan filosofi tentang apa yang akan terjadi dan menjadi arah atau pegangan bagi suatu organisasi dalam mewujudkan cita-cita yang selaras dan berkesinambungan (Fandeli, 2001). Berarti visi merupakan suatu pikiran yang melampaui realitas sekarang, sesuatu atau keadaan yang diciptakan yang belum pernah sebelumnya dan akan diwujudkan oleh seluruh anggota organisasi. Visi memberi gambaran kondisi yang akan dicapai oleh organisasi dimasa yang akan datang. Selanjutnya Fandeli (2001) mengemukakan bahwa sesungguhnya visi memberikan kerangka dasar tentang gambaran organisasi di masa yang akan datang.
Di dalam organisasi, visi akan menggerakkan semua organ di dalam tubuh organisasi untuk mencapainya. Dia ibarat roh yang mampu memovivasi dan memompa akselerasi organisasi. Visi bekerja melalui empat cara, yaitu:
1.      visi yang tepat akan menggugah dan mengikat komitmen seluruh anggota organisasi;
2.      visi yang tepat akan menciptakan makna dalam kehidupan organisasi;
3.      visi yang tepat akan membangun suatu standart of excellence
4.      visi yang tepat akan menjembatani organisasi pada masa kini menuju masa depan.
Misi adalah penjabaran yang merupakan penerjemahan atau perincian secara lebih terfokus dari visi yang ditetapkan (Fandeli, 2001). Misi berhubungan dan mengacu pada lingkup atau pernyataan pada visi. Dengan kata lain misi adalah merupakan arah pelaksanaan dari visi. Misi menyatakan pernyataan tentang tujuan organisasi yang diungkapkan dalam bentuk output dan pelayanan yang optimal untuk memenuhi tuntutan, kebutuhan dan keinginan masyarakat yang ada.
Secara organisatoris Fandeli (2001) mengemukakan bahwa misi organisasi menunjukan fungsi yang hendak dijalankan dalam suatu sistem sosial dan ekonomi tertentu. Misi organisasi menjelaskan juga alasan keberadaan dari institusi atau organisasi tersebut, mengapa ia ada dan apa tujuan pendiriannya. Dengan demikian organisasi harus selalu dilihat sebagai alat untuk mencapai tujuan. Fandeli  (2001) mengemukakan bahwa tujuan organisasi merupakan suatu pernyataan tentang keadaan yang diinginkan, dimana organisasi tersebut bermaksud untuk merealisasikan, dan sebagai pernyataan tentang keadaan di waktu yang akan datang dimana organisasi sebagai kreaktivitas mencoba untuk menimbulkannya.
Untuk membuat visi menjadi kenyataan, organisasi harus memiliki seorang pemimpin yang memiliki karakater: pertama, paham akan visi, misi, dan amanat organisasi; kedua, ia dapat bertindak sebagai agen perubahan (change agent); ketiga, ia dapat berperan serta sebagai pelatih (coach) dan sekaligus menjadi guru (teacher) bagi karyawannya; keempat, ia memiliki visionery leadership. Dari keempat karakter pemimpin ini dapat diterjemahkan sebagai berikut:
Ø  Pemimpin harus dapat berpikir dan bertindak strategis, yaitu pemimpin harus dapat membangun strategi yang efektif guna merealisasikan visi dan misinya.
Ø  Mengubah iklim dan suasana organisasi (struktur, proses, budaya) dalam rangka mengefektifkan dan mengefisiensikan dinamika organisasi.
Pekerjaan ini tidaklah mudah, karena seorang pemimpin akan mencermati dan mengkaji seluruh kemampuan sumber daya yang dimiliki terlebih dahulu. Untuk keperluan ini, maka Analisis SWOT (Streangth, Weakness, Opportuniy, and Threat) dan analisis BCG (Boston Consulting Group) dapat dijadikan alat bantu.

Penataan Ulang Organisasi
Salah satu cara untuk membangun keungulan bersaing organisasi adalah penataan ulang organiasi. Penataan ulang ini dijalankan setelah organisasi dan pimpinan melakukan analisis SWOT dan analisis BCG, sehingga pihak manajemen mengetahui posisi dan kondisi organisasi pada saat ini.
Berbagai metode manajemen telah dikembangkan dari waktu ke waktu untuk menjawab pertanyaan: "bagaimana upaya yang ditempuh organisasi untuk meningkatkan kemampuan kinerjanya?" Kondisi organisasi dan persaingan di awal millenium ketiga ini sangatlah berbeda dengan kondisi di dekade 90an. Organisasi di dekade 90an tingkat agresifitas kompetisi masih dalam taraf manual. Artinya kompetisi masih dilakukan secara langsung, akibatnya konsentrasi bisnis lebih diarahkan kepada pencapaian efisiensi dalam skala ekonomi melalui pekerjaan yang berulang, penyederhanaan tugas, produksi masal, dan volume yang besar. Akibatnya adalah proses operasional digerakkan oleh transaksi, yaitu mengerjakan banyak hal yang sama, namun prosesnya lebih cepat dengan kontrol yang tinggi, sehingga hal ini memerlukan standar, prosedur, kontrol, dan personal yang kesemuanya membuat banyak lapisan-lapisan organisasi. Pada saat ini, pengendalian mutu untuk proses operasiomnal (input, proses, dan output) menjadi panglima. Disinilah letak problematika organisasi, dimana banyak organisasi tidak melengkapi dan mempersiapkan untuk menerima dan merespon adanya perubahan di luar organisasi, penggunaan teknologi, perubahan sistem dan struktur organisasi, dan lain-lain.
Sedangkan saat ini, yaitu di era digital, organisasi perlu menyiapkan suatu sistem organisasi yang sangat responsif menyikapi perubahan. Untuk menuju organisasi yang demikian ini memerlukan perubahan yang mendasar dan menyeluruh. Respon internal organisasi yang dilakukan tidak hanya sekedar untuk mencapai sukses, karena tidak ada satu organisasi yang kebal terhadap perubahan.

Konsep Penataan Ulang Organisasi
Kehadiran suatu organisasi adalah untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada anggotanya dan masyarakat luas yang terkait (stakeholders). Pada kondisi sekarang ini, dimana sistem informasi menjadi andalan, sehingga tingkat kompetitif yang cepat dan agresif telah memaksa setiap organisasi untuk melakukan penataan ulang organisasinya. Dalam konteks perubahan inilah seluruh proses organisasi harus mengarah pada hasil output (produk atau jasa) organisasi yang optimal dengan diproses menggunakan standar mutu yang baku. Pengalaman organisasi-organisasi di Jepang menunjukkan bahwa perhatian pada proses dalam rangka  membangun standar kualitas yang diperkenalkan oleh Edward Deming di tahun 1950an telah menciptakan basis baru, yaitu kebangkitan organisasi bisnis di Jepang dan menjadikannya pemimpin market (market leader). Daming telah memberikan resep, yaitu: proses industri haruslah dipandang sebagai suautu upaya perbaikan kualitas yang terus-menerus (continous quality improvement) (Gaspersz, 2001).
Pandangan Deming tersebut mengakibatkan organiasi perlu melakukan transformasi manajemen yang dilakukan secara berkesinambungan. Disinilah konsep penataan ulang organisasi memiliki relevansinya. Penataan ulang organisasi (reinventing organization) merupakan suatu upaya perbaikan yang dilakukan organisasi secara berkesinambungan dalam rangka menciptakan suatu kondisi organisasi yang sehat dan adaptif terhadap perubahan. Hal ini bertujuan agar organisasi memiliki kemampuan untuk menghasilkan produk atau jasa (output) yang memenuhi kebutuhan, harapan, dan kepuasa dari seluruh penggunanya dan akan menambah nilai organisasi bagi seluruh komponen stakeholders.
Konsep penataan tersebut membawa konsekuensi logis, yaitu:
1.      perlunya diupayakan langkah strategis untuk menghidupkan kembali organisasi dengan bentuk dan isi yang baru sehingga cocok dengan kondisi lingkungan yang sedang bergerak.
2.      perlu diterapkan konsep kualitas guna merujuk pemenuhan kebutuhan, harapan dan kepuasan para pengguna produk organisasi.
3.      perlu mengaplikasikan unsur kecepatan guna mengakselerasikan organisasi dan mengimbangi kompetisi antar dan inter organisasi.

Konsep Modern Quality Management (MQM)
Modern Quality Management (MQM) merupakan pola pelaksanaan penataan ulang organisasi di lingkungan organiasi bisnis atau jasa. MQM merupakan salah satu metode yang digunakan dalam kerangka penerapan sistem manajemen kualitas modern. Penataan ulang proses bisnis adalah suatu proses yang mengubah budaya organiasi dan menciptakan proses, sistem, struktur, dan cara baru untuk mengukur kinerja dan prestasi organisasi. Menata ulang organisasi  dengan merumuskan kembali doktrin, praktek, dan aktivtas yang ada, dan kemudian secara kreatif dan inovatif menyebarkan kembali sumber daya organisasi ke dalam proses-proses lintas fungsi (Galbrith and Lawler, 1993). Penataan ulang organisasi yang dimaksudkan adalah untuk mengoptimalkan posisi bersaing organisasi, membangun nilai organisasi dan bermanfaat kepada seluruh stakeholders.
Penataan ulang organisasi, menurut Hidge dan William (1988), dapat dilakukan dengan melalui MQM akan memberikan akibat sebagai berikut:
1.      Peningkatan produktivitas
MQM dikonsentrasikan untuk meningkatkan produktivitas dengan menciptakan proses inovatif dan tanpa hirarki, yang memiliki  aliran tanpa henti dan urutan yang alami. Paradigma ruang tertutup yang vertikal dari tugas pokok, fungsi, dan tanggung jawab dilebur dan digantikan dengan struktur lintas fungsi, lebih datar (flat) dan beberapa jenjang. Organisasi akan menjadi lebih ramping dan lincah serta dekat dengan pengguna output organisasi. Batas-batas organiisasi tradisional yang menciptakan kesenjangan dan kelaian dalam bekerja yang dapat mengurangi nilai, kecepatan dan kualitas proses – dihilangkan oleh organisasi.
2.      Optimalisasi nilai bagi stakeholders
Optimalisasi nilai tidak hanya terjadi karena meningkatnya nilai dari sisi finansial. MQM juga dilakukan guna meningkatkan pertisipasi staf atau pekerja dalam pengambilan keputusan, perhatian terhadap organisasi, pengetahuannya terhadap arah dan peran dalam organisasi. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi logis dari model pertisipatif yang dikembangkan dari perubahan-perubahan internal yang terjadi pada struktur dan proses-proses organisasi.
3.      Pencapaian hasil yang luar biasa
Penataan ulang organisasi akan menciptakan pencapaian hasil yang luar biasa karena terjadinya peningkatan produktifitas, efisiensi biaya, dan efisiensi waktu.
4.      Konsolidasi fungsi-fungsi organisasi
Rekayasa ulang organisasi berusaha untuk menciptakan organisasi lebih ramping, datar dan lebih cepat. Salah satu ciri yang dibentuk melalui rekayasa ulang adalah: kemampuan organisasi dengan cepat untuk dapat menerima inovasi, kebutuhan pasar, perkembangan teknologi teknologi, serta kecenderungan persaingan.
5.      Efisiensi dan efektivitas kerja.
Penataan ulang organisasi membangun secara konstruktif dan akan menganalisa secara hierarki dan aktivitas organisasi secara menyeluruh, sehingga nilai, maksud dan isi program dan kegiatan organisasi. Tingkat dan aktivitas organisasi yang mewakili memiliki nilai manfaat atau kecil kontribusinya sebagai peningkatan daya saing untuk disusun ulang atau dihilangkan.
Akibat dari penataan  ulang organisasi di atas, pada tingkatan tertentu akan menjadi tujuan-tujuan khusus penataan ulang itu sendiri. Hal ini menjadi sangat mungkin tercapai karena merupakan konsekuensi dari penerapan sistem kualitas modern.
MQM dilaksanakan oleh organisasi secara terpadu (total quality management atau TQM) yang menyeluruh ke semua lini manajemen. TQM, menurut Gasperzs, diartikan sebagai cara untuk meningkatkan kinerja atau performansi organisasi secara terus menerus (continouos performance improvement) di setiap level manajemen dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki organisasi (Gaspersz, 2001). Atau, semua aktivitas dari fungsi manajemen secara keseluruhan yang menentukan kebijaksanaan kualitas, tujuan dan tanggung jawab, serta mengimplementasikannya dengan menggunakan alat-alat, seperti perencanaan kualitas (quality planning), pengendalian kualitas (quality control), jaminan kualitas (quality insurance), dan peningkatan kulitas (quality improvement). Jadi tanggung jawab kualitas proses produk atau jasa ada pada semua level manajemen, karena implementasi program ini melibatkan semua level manajemen. Sementara itu manajemen puncak berkewajiban mengendalian arah dan bentuk kualitas tersebut.

Karakter Sistem MQM
Sekarang ini, pengertian pengendalian kulitas  manajemen tidak hanya sekedar mengontrol pada produk, sehingga outputnya adalah identifikasi produk cacat. Paradigma baru tentang pengendalian kualitas berfokus pada membangun sistem MQM. Organisasi yang akan melakukan penataan ulang hendaknya mengarahkan organisasinya agar memiliki karakterisitik sebagai berikut:
1.      Sistem MQM berorientasi pada kepuasan pelanggan. Pada MQM, produk atau jasa yang dihasilkan organisasi didesain dengan prinsip now and perfect. Now, pelanggan saat ini menghendaki agar produk atau jasa yang dibutuhkan harus ada saat dibutuhkan olehnya, atau organisasi dapat menyediakan  produk atau saja secara cepat, sehingga pelanggan tidak perlu menunggu terlalu lama. Perfect, Produk atau jasa yang dihasilkan harus sempurna, tanpa cacat (zero defect), guna mengerahkan ke customer goodwill (Manajemen, Januari 2001). Kedua prinsip ini didesain sebagai upaya memenuhi kebutuhan, harapan dan keinginan pengguna produk atau jasa. Untuk mendapatkan hal ini didasarkan melalui analisis mendalam tentang pasar (riset pasar), kemudian diproduksi dengan cara yang baik dan benar sehingga produk yang dihasilkan memenuhi standar desain (memiliki derajat konfirmasi).
2.      Sistem MQM bercirikan adanya partisipasi aktif secara total dari semua SDM yang dimiliki organisasi. Organisasi dengan sistem MQM harus dapat menerapkan semangat kewirausahaan di dalam organisasinya. Artinya, organisasi dan anggota organsiasi dibangun untuk selalu dinamis dengan berdasar nilai dan semangat kewirausahaan. Intrapreneurship merupakan cara terbaik untuk menanamkan nilai-nilai kewirausahaan, dimana setiap anggota organsiasi diberi wewenang dan tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan. Di setiap anggota organsiasi ditanamkan bahwa dia diperlakukan sebagai subjek perusahaan atau organisasi. Ia dipandang bukan sekedar objek perusahaan yang diperlakukan dengan berbagai aturan. Ia dipandang sebagai manusia yang memiliki potensi, sehingga potensi ini perlu ditumbuhkembangkan sesuai dengan kemampuannya. Jeff Madura (2001) mengusulkan, bahwa pada proses intrapreneurship ini para anggota organsiasi didorong untuk berfikir sebagai pengusaha di dalam perusahaan. Perbedaan dengan pengusaha terletak pada statusnya, yaitu sebagai anggota organsiasi dalam perusahaan, dan bukan pemilik perusahaan. Sedang persamaannya adalah mereka sama-sama bekerja dengan penuh semangat, mengoptimalkan kreativitas, bekerja penuh inovasi, dan berfikir bahwa perusahaan seperti miliknya sehingga mereka wajib membesarkan perusahaan. Pihak manajemen membuka koridor intrapreneurship, sehingga pihak manajemen tinggal melakukan pengawasan manajerial. Ini tidak mudah untuk diimplementasikan, karena hal ini membutuhkan:
Ø  Entrepreneurial skill yang tinggi dari pengusaha atau para manajer
Ø  Para manajer dituntut untuk untuk  memiliki wawasan dan ketrampilan mengelola organisasi berbasis kewirausahaan
Ø  Pengusaha dan para manajer dituntut memiliki transfer of entrepreneurship skill, sehingga proses penanaman nilai dan implementasi nilai akan mudah dilaksanakan
Ø  Mereka harus memiliki kemampuan untuk mendinamisasikan dan menjaga kehidupan nilai dan semangat kewirausahaan di dalam perusahaan atau organisasi.
3.      Sistem MQM diterapkan pada semua lini manajemen, dari level paling bawah sampai pada level tertinggi. Artinya, MQM diterapkan kepada siapapun dan menjadi tanggung jawab bersama, bukan tanggung jawab bagian tertentu, misalnya Departemen Pengawasan Mutu (Gaspersz, 2001).
4.      Mengacu pada butir 3, Sistem MQM bercirikan adanya pemahaman dan tanggung jawab kualitas di setiap sumber daya manusia. Setiap orang perlu memahami secara komprehensif mengenai manajemen kualitas. Meskipun kualitas produk atau layanan merupakan tanggung jawab setiap anggota organisasi, namun perlu diingat bahwa jenis tanggung jawab setiap orang berbeda-beda, tergantung posisinya dalam organisasi. Oleh karenanya, upaya merumuskan tanggung jawab secara spesifik menjadi urgen untuk diketahui oleh setiap anggota organisasi.
5.      Sistem MQM dicirikan oleh adanya aktivitas yang berorientasi pada tindakan pencegahan kerusakan, bukan berfokus pada upaya untuk mendeteksi kerusakan produk atau jasa.
6.      Sistem MQM lebih mengedepankan adanya suatu filosofi yang menganggap bahwa kualitas merupakan jalan hidup organisasi (way of life organization). Isu-isu tentang MQM didiskusikan dalam pertemuan manajemen di semua level organisasi. Semua staf atau anggota organisasi mesti dikondisikan agar secara sukarela berpartisipasi dalam usaha-usaha peningkatan kualitas. Untuk kepentingan ini mensyaratkan dikembangkannya kultur organisasi yang kondusif (Gaspersz, 2001)
7.      Sistem MQM menerapkan manajemen risiko kepada semua lini manajemen. Artinya, manajemen risiko kualitas menjadi bagian dari semua departemen fungsional, bukan lagi menjadi bagian dari Departemen Manajemen Risiko (Djohanputro, 2004).
Berikut beberapa perbedaan mendasar tentang manajemen kualitas dalam paradigma lama dan paradigma modern

Tabel 2
Manajemen Kualitas Dalam Paradigma Lama Dan Paradigma Modern

Paradigma Lama
Paradigma Modern
Memandang kualitas sebagai isu teknis
Kualitas sebagai isu bisnis
Upaya perbaikan kualitas dikoordinasikan oleh Departemen Pengawasan Mutu
Usaha perbaikan kualitas diarahkan kepada semua SDM dengan prinsip intrapreneurship
Manajemen Kualitas difokuskan pada unit tertentu
Kualitas mencakup semua fungsi dan unit pada semua lini manajemen
Produktivitas dan kualitas merupakan sarana yang bertentangan
Produktivitas dan kualitas merupakan hal yang berhubungan, karena hasil-hasil produktivitas yang dicapai merupakan peningkatan kualitas
Kualitas diukur melalui derajat non konfirmasi dengan menggunakan ukuran-ukuran derajat internal
Kualitas diukur melalui perbaikan proses dan kepuasan pelanggan secara terus menerus dengan menggunakan ukuran kualitas pelanggan
Kualitas adalah fungsi terpisah dan berfokus pada evaluasi produksi
Kualitas adalah bagian dari setiap fungsi dalam semua tahapan dan siklus hidup produk
Manajemen risiko kualitas menjadi tanggung jawab Departemen Risiko
Manajemen risiko kualitas menjadi tanggung jawab bersama dari masing-masing departemen
Sumber: disadur dari Gaspersz, 2001

Dalam koteks organisasi, jika kekuatan-kekuatan utama penentu keunggulan organisasi dapat dipetakan, maka akan nampak dimana kecenderungan persaingan organisasi dalam satu industri. Dari model kajian ini dapat menentukan posisi persaingan organisasi. Kecenderungan pasar akan menunjukkan pada arah dan tingkat intensitas persaingan. Sedangkan pertumbuhan organisasi merupakan petunjuk bagi kita tentang keberhasilan mengatasi permintaan pasar. Penalaran ini merupakan dasar bagi pengembangan manajemen kualitas modern. Kunci untuk memahami pengaruh eksplisit dari MQM sangat ditentukan oleh keakuratan hasil riset pasar.

Kesimpulan
Ø  Kondisi organisasi saat ini terus mengalami perubahan. Untuk melakukan perubahan, organisasi perlu melakukan pengkajian terhadap kondisi internal dan eksternal organisasinya, dan akhirnya menghasilkan posisi persaingan di antara pesaing organisasinya. Untuk melakukan perubahan ini, organisasi sering mengalami banyak kendala di dalam menjawab kebutuhan dari masalah organisasi yang muncul sebagai akibat dari kelemahan internal dan adanya ancaman eksternalnya sebagai akibat dari perubahan lingkungan bisnis.
Ø  Penggunaan MQM sebagai paradigma penataan ulang organisasi dilakukan dengan melalui penyadaran semua anggota organisasi. Artinya, implementasi MQM dijalankan secara total dalam berbagai lapisan dan fungsional manajemen. Oleh karenanya, organisasi menjalankan MQM dengan mengacu pada perubahan lingkungan dan peta persaingan organisasi.
Ø  Keberhasilan di dalam melakukan penataan ulang organisasi dengan MQM didasari oleh: kesungguhan niat dan tekad untuk memperbaiki diri organisasi dan upaya untuk merespon lingkungan bisnis yang terus berubah. Keberhasilan ini juga didukung oleh penggunaan metodologi MQM yang dijalankan secara konsekuen dan terpadu.

 
REFERENSI


Bramantyo Djohanputro, 2004, Manajemen Risiko Korporat Terintegrasi, Jakarta: PPM.
Galbrith, Jay and Lawler, Edward, 1993, Organizational for Return, San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.
Garpersz, Vincent, 2001, Total Quality Management, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fandeli, Chafid, 2001, Strategi Pengembangan Pariwisata Alam, Jakarta: Gramedia.
Hidge, BJ and Anthony, William, 1988, Organizational Theory, 3th edition, Massachusetts: Allyn and Bacon, Inc.
Indahwati Darsono, Licen, Desember 2002, “Perubahan Organisasional, Khususnya Trasformasi Organisasional: Hambatan, Solusi, dan Kunci Sukses, Telaah Bisnis, Volume 3 Nomor 2, Yogyakarta: AMP YKPN.
Kotler, Phillip, 1994, Manajemen Pemasaran, Jakarta: Erlangga.
Madura, Jeff, 2001, Introduction to Business, 2nd Ed., terj. Saroyini W.R. Salib, Pengantar Bisnis, Jakarta: Salemba Empat
Manajemen, Januari 2001,
Robbins, Stephen P., 2001, Organizational Behavior Concept, Controversies, Application, 7th ed.,  Englewood Cliffs, New Jersey: Simon and Schuster Company.
Siagian, Sondang, P 1995, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta : Bumi Aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar