Minggu, 14 Agustus 2011

Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah-4


PENETRASI MISSI KRISTEN
Oleh: Wahyu Purhantara
 
Keadaan umat Islam Indonesia yang terpuruk adalah sebuah fenomena yang disikapi positif dan dimanfaatkan oleh pihak Belanda yang mendukung adanya kegiatan misi Katolik dan Zending Kristen. Missionaris Kristen Belanda semakin gencar menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat (Rusli Karim, 1986: 85). Setelah Hindia Belanda terbuka untuk kegiatan missionaris, baik Roma Katholik maupun Protestan, maka berlomba-lombalah berbagai organisasi zending dan missi yang didukung oleh dana swasta antara lain: Nederlandsch Zending Genootschap atau NZG dan Nederlands Bijbel Genootschap atau NBG (Syaifullah. 1997: 57). Gerakan ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk melancarkan gerakan Kristening Politiek dalam rangka mendukung kepentingan politik kolonialnya (Farid Fathoni, 1990: 36).
Jauh sebelumnya, penetrasi Kristen berawal ketika para penguasa kraton Yogyakarta, atas desakan pemerintah kolonial Belanda, menyetujui pencabutan larangan penginjilan terhadap masyarakat Jawa (Alwi Shihab, 1998: 141). Sejak saat itu, Jawa sebagai konsentrasi kebanyakan kaum muslim, mulai terbuka untuk kegiatan missionaris Kristen. Pada masa Politik Etis dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda missi Kristen lebih digalakkan melalui jalur pendidikan.
Sebagai negara Kristen, pemerintah Belanda berkewajiban untuk mengatur kedudukan hukum rakyat Kristen yang berada di kepulauan Hindia Belanda, memberikan dukungan yang lebih kuat terhadap penyebaran Kristen dan memberikan penerangan kepada segenap petugas bahwa Belanda mempunyai kewajiban moral yang harus dipenuhi terhadap negara jajahan. Bahkan Gubernur Jendral Idenburg membagi-bagikan kartu namanya yang disebut sebagai pasar Zondag Circulaires yaitu suatu edaran tentang pasar pada hari Minggu, melarang semua pesta dan kegiatan pada hari itu. Pemerintah Belanda membangun rumah sakit, lembaga pendidikan dan agresif dalam penyebaran agama Kristen, dan subsidi besar-besaran pada missi Kristen. Bagi kaum muslim, pemberian ijin oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap penyebaran ajaran Injil di Jawa adalah suatu bukti bahwa pemerintah kolonial berkeinginan untuk mengkristenkan masyarakat Jawa (Alwi Shihab, 1998: 141). Pemerintah Hindia Belanda turut campur tangan dalam ibadah haji. Para jamaah haji dicurigai, dianggap fanatik dan bibit tukang pemberontak. Akibatnya pada tahun 1902 pelaksanaan ibadah haji perlu dibatasi.
Proses Kristenisasi ini digambarkan Lothrop Stoddart sebagai suatu tindakan yang tidak dapat dilupakan oleh rakyat yang terjajah mengenai kebobrokan politik penjajahan yang mempergunakan kesucian agama bagi kepentingan busuk kolonialismenya. Misalnya, apa yang telah dikerjakan oleh Gubernur Jendral Idenburg, dengan politik ‘pengkristenan’nya terhadap seluruh penduduk Nusantara, sedikit demi sedikit, secara teratur dan berencana. Politik untuk mengkristenkan penduduk Indonesia itu cukup jahat untuk menanamkan cakar kolonialismenya. (Lothrop Stoddard, 1966, 306). Penguasaan cengkeraman imperialisme Belanda sangat nyata dan berkembang pesat di Indonesia Timur. Untuk itu secara terang-terangan Pemerintah Kolonial Belanda menyatakan secara terbuka bahwa Pemerintah Hindia Timur adalah representasi sebuah negara Kristen (Alwi Shihab, 1998: 142).
Di dalam menghadapi masyarakat muslim, pemerintah kolonial Belanda sangat menunjukkan ambiguitasnya. Di satu sisi, Belanda memandang Islam sebagai agama yang harus diperlakukan secara netral. Sementara di pihak lain, mereka melakukan upaya-upaya untuk menyudutkan Islam dengan memperbesar kegiatan missi Kristen melalui bantuan-bantuan finansial. Sikap ambigu ini memang sengaja diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda guna mengurangi sikap-sikap negatif dan kecurigaan dari umat muslim Indonesia. Bagaimanapun, umat muslim Indonesia memiliki kekuatan sehingga mereka harus hati-hati dalam bertindak dan bersikap. Pengalaman di perang Aceh adalah bukti bahwa umat muslim memiliki kekuatan yang luar biasa, sehingga Snoucke Hurgronje diperintah untuk mempelajari Islam guna menghancurkan umat muslim di Indonesia, khususya di Aceh (Alwi Shihab, 1998: 82-87). Atas dasar pengalaman ini, maka pemerintah kolonial Belanda harus pintar bermain mata dengan umat Islam agar dukungan kristenisasi di Indonesia tidak mendapat perlawanan yang serius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar