Minggu, 14 Agustus 2011

Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah


POTRET BURAM UMAT ISLAM INDONESIA ABAD KE XIX
Oleh: Wahyu Purhantara

Umat Islam Indonesia sampai akhir abad ke-19 belum menunjukkan sebagai umat Islam yang sejati. Mereka mengaku dirinya muslim, tetapi dalam praktek kesehariannya mereka masih mengamalkan praktek-praktek budaya Jawa atau budaya Hindu-Budha. Potret umat Islam di tanah Jawa secara spiritual mengalami kemunduran yang luar biasa. Mereka sulit untuk menghindari pola-pola budaya dari nenek moyang yang turun temurun. Jika dirunut lebih jauh, fenomena masyarakat yang demikian ini disebabkan oleh pola penyebaran Islam di Nusantara. Umat Islam dilanda formalisme tanpa menyadari dan menghayati yang terkandung dalam ajaran agama. Mereka hanya melakukan upacara-upacara ibadah saja, tetapi tidak mengerti segala sesuatu yang menjadi kewajiban agama. Ini sebagai akibat dari ketidaktahuannya tentang ajaran Islam yang sebenarnya. Mereka menjadi Islam karena keturunan (Nasrudin Anshori, 2010: 35). 
Pola penyebaran Islam yang dilakukan oleh para wali yang langsung ke daerah pedesaan dengan menggunakan strategi akulturasi dan sinkretisasi. Akulturasi Islam dan budaya Jawa adalah pola penyebaran Islam yang paling efektif bagi masyarakat pedesaan. Budaya-budaya yang sudah ada sebelumnya dimodifikasi dan dikemas dengan unsur Islam. Contoh akulturasi antara Islam dengan budaya lokal (Hindu-Budha) seperti upacara tingkeb (tujuh bulanan), peringatan bagi orang meninggal (sur tanah, tiga hari, tujuh hari sampai 1000 hari). Sinkretisme dibalut dalam bentuk penyebaran Islam untuk kalangan priyayi, terutama di lingkungan karaton. Agama Islam adalah agama dari para raja di tanah Jawa, agama ageming aji. Ungkapan ini diambil dari kitab wulangreh di tembang Pangkur merupakan wujud sinkretis, dimana raja-raja Mataram merupakan pemangku atas penataan agama Islam (panatagama).
Akibat dari pola penyebaran Islam yang demikian ini, maka memunculkan tiga golongan keagamaan di masyarakat Jawa. Menurut Geertz, ketiga kelompok itu adalah kaum abangan yang berada di desa-desa, dimana mereka masih menyembah ruh dan berorientasi pada adat; kelas-kelas aristokrat priyayi yang berorientasi Hindu; dan kaum santri dengan orientasi keislaman yang lebih murni (Alwi Shihab, 1998: 30). Strategi penyebaran Islam yang demikian ini, menurut Syaifullah, telah melahirkan pemahaman Islam Kejawen, yang merupakan sinkretisasi antara Islam (tasawuf) dengan kepercayaan Hindu (1997:40).
Islam baru disampaikam secara garis besar, sehingga pengertian Islam belum tersampaikan kepada masyarakat secara utuh. Walaupun ketika itu para wali sudah menyampaikan ajaran tentang shalat, puasa, zakat, dan lain-lain, namun mereka belum menyampaikan hikmah dan faedah dari ibadah-ibadah tersebut. Penghayatan Islam pada masa ini betul-betul mengalami kebekuan (Nasrudin Anshori, 2010: 36).
Waktu itu umat Islam Indonesia tidak memegang teguh Al Qur’an dan As Sunnah Rasul, sehingga perbuatan syirik, bid’ah, churafat, dan tahayul semakin merajalela (Rusli Karim, 1986: 95). Keadaan diakibatkan oleh pengaruh budaya Hindu-Budha yang telah mengakar di kalangan masyarakat. Lebih-lebih di Yogyakarta yang dikelilingi oleh peninggalan-peninggalan peradaban Hindu-Budha, seperti candi Borobudur, Mendut, Prambanan, Boko, Kalasan, dan lain-lain. Belum lagi pengaruh mistis yang hidup di kalangan masyarakat Jawa ketika itu.
Kondisi yang demikian itu menjadikan masyarakat muslim Jawa saat itu sangat memungkinkan sekali terjadi percampuran keyakinan. Mereka mengaku muslim, namun dalam praktek-praktek kehidupan masih jauh dari ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Al Qur’an dipandang sebagai kitab yang sangat suci dan keramat, sehingga kitab ini jarang disentuh, apalagi dibaca. Bahkan Al Qur’an  dijadikan jimat yang mampu memberikan petuah dan penyembuh dari segala penyakit. Ini pengaruh budaya animisme yang merasuk pada umat muslim ketika itu.
Praktek-praktek kehidupan sosial antara ajaran Islam dengan budaya masyarakat Jawa dicampuradukkan. Hal ini mengakibatkan hal-hal yang berbau tahayul dan churafat sulit  dihilangkan dari masyarakat. Mereka sudah percaya bahwa Allah sebagai Tuhan mereka yang tunggal, namun dalam keseharian mereka tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh kekuatan yang ada di benda-benda keramat, seperti: keris, tombak, pohon-pohon sakti, tempat-tempat keramat, keyakinan Ratu Kidul, hari lahir (weton), hari naas (geblake), dan lain-lain.
Islam memang mengajarkan tentang sedekah. Namun pengejawantahan ibadah ini dibalut dalam bentuk budaya selamatan. Upacara selamatan yang mengundang tetangga dan kerabat dengan hidangan berbagai sesajian lengkap, sesuai dengan alam animisme, dipersembahkan untuk para arwah leluhur dan arwah nabi. Ditinjau dari nilai sosial, ibadah ini memang memiliki nilai kerukunan umat. Namun karena penyajian sesaji yang sesuai dengan alam animisme, justru ibadah ini menjadi menyimpang dari ajaran Islam (Nasrudin Anshori, 2010: 37-41), meski di dalam ritual itu menggunakan doa-doa yang Islami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar