Minggu, 14 Agustus 2011

ISLAM DAN AKULTURASI


ISLAM, ARABISME, DAN AKULTURASI
Oleh Purhantara
diambil dari Irfan Salim Zubeir
 
Islam sebagai agama bersifat universal yang mampu menembus batas-batas bangsa, ras, klan dan peradaban, tak bisa dinapikan bahwa unsur Arab mempunyai beberapa keistimewaan dalam Islam. Ada hubungan kuat yang mengisyaratkan ketiadaan kontradiksi antara Islam sebagai agama dengan unsur Arab. Menurut Dr. Imarah, hal ini bisa dilihat dari beberapa hal :
Pertama, Islam diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah, seorang Arab. Juga, mukjizat terbesar agama ini, al-Quran, didatangkan dengan bahasa Arab yang jelas (al-Mubin), yang dengan ketinggian sastranya dapat mengungguli para sastrawan terkemuka Arab sepanjang sejarah. Sebagaimana memahami dan menguasai al-Quran sangat sulit dengan bahasa apapun selain Arab. Implikasinya, Islam menuntut pemeluknya jika ingin menyelami dan mendalami makna kandungan al-Quran, maka hendaknya mengarabkan diri.
Kedua, dalam menyiarkan dakwah Islam yang universal, bangsa Arab berada di garda depan, dengan pimpinan kearaban Nabi dan al-Quran, kebangkitan realita Arab dari segi "sebab turunnya wahyu" dengan peran sebagai buku catatan interpretatif terhadap al-Qur'an dan lokasi dimulainya dakwah di jazirah Arab sebagai "peleton pertama terdepan" di barisan tentara dakwahnya.
Ketiga, jika agama-agama terdahulu mempunyai karakteristik yang sesuai dengan konsep Islam lokal, kondisional dan temporal, pada saat Islam berkarakteristikkan universal dan mondial, maka posisi mereka sebagai "garda terdepan" agama Islam adalah menembus batas wilayah mereka.(Ibnu Khaldun, 1989, hal. 543)
Walaupun begitu, menurut pengamatan Ibnu Khaldun, seorang sosiolog dan sejarawan muslim terkemuka, bahwa di antara hal aneh tapi nyata bahwa mayoritas ulama dan cendekiawan dalam agama Islam adalah 'ajam (non Arab), baik dalam ilmu-ilmu syari'at maupun ilmu-ilmu akal. Kalau toh diantara mereka orang Arab secara nasab, tetapi mereka 'ajam dalam bahasa, lingkungan pendidikan dan gurunya (Ibid, 544).
Lebih lanjut, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa bersamaan dengan meluasnya daerah Islam, muncullah banyak masalah dan bid'ah, bahasa Arab sudah mulai terpolusikan, maka dibutuhkan kaidah-kaidah Nahwu. Ilmu-ilmu syari'at menjadi keterampilan atau keahlian istinbath, deduktif, teoritisasi dan analogi. Ia membutuhkan ilmu-ilmu pendukung yang menjadi cara-cara dan metode-metode berupa pengetahuan undangundang bahasa Arab dan aturan-aturan istinbath, qiyas yang diserap dari aqidah-aqidah keimanan berikut dalil-dalilnya, karena saat itu muncul bid'ah-bid'ah dan ilhad (atheisme). Maka jadilah ilmu-ilmu ini semua ilmu-ilmu keterampilan yang membutuhkan pengajaran. Hal ini masuk dalam golongan komoditi industri, dan sebagaimana telah dijelaskan, bahwa komoditi industri adalah peradaban orang kota sedangkan orang Arab adalah sangat jauh dari hal ini.16 Ibnu Khaldun menyebutkan, intelektual-intelektual yang mempunyai kontribusi sangat besar dalam ilmu Nahwu seperti Imam Sibawaih, al-Farisi, dan al-Zujjaj. Mereka semua adalah 'ajam. Begitu juga intelektual-intelektual dalam bidang hadits, ushul fiqih, ilmu kalam dan tafsir. Benarlah sabda Rasulullah; "Jika saja ilmu digantungkan diatas langit, maka akan diraih oleh orang-orang dari Persia".(Ibid, 544).
 Kita lihat juga bahwa budaya Persia; budaya yang pernah jaya dan saat Islam masuk; ia sedang menyusut, adalah memiliki pengaruh yang demikian dalam, luas, dinamis dan kreatif terhadap perkembangan peradaban Islam. Lihat saja al-Ghazali, meskipun ia kebanyakan menulis dalam bahasa Arab sesuai konvesi besar kesarjanaan saat itu, ia juga menulis beberapa buku dalam bahasa Persi. Lebih dari itu, dalam menjabarkan berbagai ide dan argumennya, dalam menandaskan mutlaknya nilai keadilan ditegakkan oleh para penguasa, ia menyebut sebagai contoh pemimpin yang adil itu tidak hanya Nabi saw dan para khalifah bijaksana khususnya Umar bin Khattab, tetapi juga Annushirwan, seorang raja Persia dari dinasti Sasan ( Madjid, 2001. 547-54)
Menarik untuk diketengahkan juga walaupun saat ini Persia atau Iran menjadikan Syiah sebagai madzhab, namun lima dari penulis kumpulan hadits Sunni dan Kutub as-Sittah berasal dari Persia. Mereka adalah Imam Bukhari, Imam Muslim al-Naisaburi, Imam Abu Dawud al-Sijistani, Imam al Turmudzi dan Imam al-Nasai. Dari paparan di atas, menunjukkan kepada kita betapa kebudayaan dan peradaban Islam dibangun diatas kombinasi nilai ketaqwaan, persamaan dan kreatifitas dari dalam diri Islam yang universal dengan akulturasi timbal balik dari budaya-budaya lokal luar Arab yang terislamkan. Pun tidak hendak mempertentangkan antara Arab dan non Arab. Semuanya tetap bersatu dalam label "muslim". "Yang terbaik dan termulia adalah yang paling taqwa".(QS. Al-Hujurat: 13)  "yang paling suci, yang paling banyak dan ikhlas kontribusi amal-nya untuk kemulian Islam" (QS. Al-Mulk: 2).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar