Minggu, 14 Agustus 2011

Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah-2


PROBLEM SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA ABAD XIX
Oleh: Wahyu Purhantara

Sikap pemerintah penjajah Hindia Belanda selalu menekan penduduk pribumi dalam berbagai segi kehidupan. Pemerintah Hindia Belanda memegang kekuasaan yang sangat kuat, sehingga ia mampu menentukan segala sesuatunya di bumi Nusantara (Tim Pembina Al Islam dan Kemuhammadiyahan, 1990: 8). Ini dapat dibuktikan dengan adanya kekuatan pemerintah kolonial Belanda dalam hal bersikap kepada masyarakat Jawa, dimana ia berhasil membuat pertentangan antara kelompok elit dengan kelompok masyarakat bawah. Kelompok elit Jawa ditempati oleh kaum priyayi dan kaum muslim yang dangkal tingkat komitmen keislamannya. Sementara kelompok masyarakat bawah terdiri dari kaum pedesaan dan kaum muslim yang sangat taat. Kedua kelompok ini sering dipertentangkan oleh pihak pemerintah kolonial Belanda, dan jarang sekali terjadi kolaborasi dan simbiosis yang saling menguntungkan. Konflik antara kelompok elit dengan kelompok masyarakat bawah sengaja diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda, dan ia berhasil mendapatkan keuntungan dari konflik itu. Pada awal abad ke-20, kelompok elit atau kalangan priyayi adalah kelompok yang paling banyak mendapat keuntungan. Merekalah yang pertama kali mendirikan dan mengorganisasikan lembaga-lembaga pendidikan sekuler. Sejalan dengan watak kebudayaan priyayinya, organisasi ini diarahkan untuk bersikap murni sekuler terhadap agama. Tujuan organisasi ini jelas, yaitu menghidupkan kembali kebudayaan Jawa melalui penyatuannya dengan pandangan Barat (Alwi Shihab, 1998: 135-139). Sementara itu kelompok masyarakat bawah yang diwakili oleh kelompok santri semakin kecewa atas sikap pemerintah Hindia Belanda yang memperlihatkan dukungannya kepada kelompok priyayi.
Keadaan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Islam, sangat menyedihkan baik dalam hal kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budayanya.  Akibat penjajahan Belanda, telah mengakibatkan mereka jatuh dalam kehidupan yang miskin, bodoh, kolot, dan mundur. Lebih jauh, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka menyebutnya dengan: pertama, keterbelakangan dan kebodohan umat Islam Indonesia di hampir semua bidang kehidupan. Kedua, suasana kemiskinan yang parah diderita umat Islam Indonesia dalam suatu negeri yang kaya. Ketiga, kondisi pendidikan Islam yang sudah ketinggalan zaman, seperti yang dapat terlihat dalam lembaga pendidikan pesantren (Sazali, 2005: 75). Ketiadaan persatuan dan kesatuan sikap, pendapat, langkah dan tindakan di antara umat Islam dalam perjuangan yang diakibatkan oleh tidak adanya ukhuwah Islamiyah serta ketidakadaan suatu organisasi yang kuat (Farid Fathoni, 1990: 36).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar