Minggu, 14 Agustus 2011

Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah-3


KEGAGALAN SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN
Oleh: Wahyu Purhantara

Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cenderung bersifat tradisional telah mengalami kegagalan dalam mencetak generasi-generasi yang siap memenuhi tantangan zaman. Hal ini sebagai akibat dari sikap mengisolasi dari pengaruh luar serta disebabkan adanya sistem pendidikan yang kolot, yaitu pola pendidikan yang tidak sesuai dengan kemajuan zaman (Rusli Karim, 1986, 95). Kondisi yang demikian ini diperparah lagi oleh keadaan umat Islam yang hidup dalam alam pemikiran atau fanatisme yang sempit. Mereka bersikap taqlid buta, bertindak sangat dogmatis (Sutrisno Kutoyo, 1985: 118), dan menerima ajaran Islam tanpa mempertimbangkan kebenaran sumber.
Dalam kehidupan beragama ini terjadi kemerosotan ruhul Ishmi, jika dilihat dari ajaran Islam yang bersumber pada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Pengamalan ajaran Islam bercampur dengan tahayul, bid'ah, churafat. Di samping itu, pemikiran umat Islam juga terbelenggu oleh otoritas mazhab dan taqlid kepada para ulama sehingga ijtihad tidak dilakukan lagi. Dalam pengajaran agama Islam, secara umum Al Qur'an yang menjadi sumber ajaran hanya diajarkan pada tingkat bacaan, sedangkan terjamahan dan tafsir hanya boleh dipelajari oleh orang-orang tertentu saja (www. Muhammadiyah.or.id). Sementara itu, pertentangan yang bersumber pada masalah khilafiyah dan firu'iyah sering muncul dalam masyarakat Muslim, akibatnya muncul berbagai firqah dan pertentangan yang bersifat laten.
Anehnya, masyarakat muslim pedesaan lebih suka mengirimkan anak-anak mereka ke pesantren, atau hanya sekedar ke lembaga pendidikan informal lain yang mengajarkan pengetahuan dasar agama Islam. Sedang pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial hanya diikuti oleh anak-anak  pejabat pemerintah dan golongan kaum priyayi. Akan tetapi, sebenarnya ada dualisme cara memandang pendidikan Barat ini (www. Muhammadiyah.or.id). Di satu sisi pendidikan Barat sebagai perwujudan dari pengaruh Barat atau Kristen terhadap lingkungan sosial dan budaya lokal maupun Islam. Di sisi yang lain, secara objektif pendidikan Barat dapat dilihat sebagai faktor penting untuk mendinamisasi masyarakat pribumi yang mayoritas beragama Islam.
               Sementara itu, menurut Syaifullah (1997: 43-53), ada beberapa kondisi yang menyengaja kondisi umat Islam agar semakin terpuruk peradabannya. Salah satunya adalah kaum intelektual Indonesia yang telah mendapat pendidikan Barat. Mereka cenderung bersikap negatif terhadap Islam. Golongan ini dianggap sebagai antek-antek Belanda. Mereka lebih bersikap acuh tak acuh dan apatis terhadap umat Islam Indonesia dan agama Islam. Mereka beranggapan bahwa Islam adalah agama yang telah mengalami out of to date, menghambat kemajuan, kolot, dan tidak sesuai dengan kemajuan zaman, tidak dapat menerima budaya Barat yang cenderung lebih fulgar dan keduniawian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar