Jumat, 10 Juni 2011

Manajemen Syariah


MANAJEMEN SYARIAH UNTUK ORGANISASI

Oleh: Drs. Wahyu Purhantara, MM*


A. Manajemen Merupakan Bagian Dari Syariat Islam
Dalam pandangan ajaran Islam, segala sesuatu harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, dan teratur. Proses-prosesnya harus diikuti dengan baik. Sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan. Hal ini merupakan prinsip utama dalam ajaran Islam. Rasulullah saw. bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Thabrani,
“Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melakukan sesuatu pekerjaan, dilakukan secara Itqan (tepat, terarah, jelas, dan tuntas).” (HR Thabrani)
Arah pekerjaan yang jelas, landasan yang mantap, dan cara-cara mendapatkannya yang transparan merupakan amal perbuatan yang dicintai Allah swt. Sebenarnya, manajemen dalam arti mengatur segala sesuatu agar dilakukan dengan baik, tepat, dan tuntas merupakan hal yang disyariatkan dalam ajaran Islam.
Demikian pula dalam hadits riwayat Imam Muslim dari Abi Ya’la, Rasulullah saw. bersabda.
Allah swt. mewajibkan kepada kita untuk berlaku ihsan dalam segala sesuatu.” (HR. Muslim)
Kata ihsan bermakna melakukan sesuatu secara maksimal dan optimal. Tidak boleh seorang muslim melakukan sesuatu tanpa perencanaan, tanpa adanya pemikiran, dan tanpa adanya penelitian, kecuali sesuatu yang sifatnya emergency. Akan tetapi, pada umumnya dari hal yang kecil hingga hal yang besar, harus dilakukan secara ihsan, secara optimal, secara baik, benar, dan tuntas.
Demikian pula ketika kita melakukan sesuatu itu dengan benar, baik, terencana, dan terorganisasi dengan rapi, maka kita akan terhindar dari keragu-raguan dalam memutuskan sesuatu atau dalam mengerjakan sesuatu. Kita tidak boleh melakukan sesuatu yang didasarkan pada keragu-raguan. Sesuatu yang didasarkan pada keragu-raguan biasanya akan melahirkan hasil yang tidak optimal dan mungkin akhirnya tidak bermanfaat. Oleh karena itu, dalam hadits riwayat Imam Tirmidzi dan Nasa’i, Rasulullah saw. bersabda,
Tinggalkan oleh engkau perbuatan yang meragukan, menuju perbuatan yang tidak meragukan.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i).
Proses-proses manajemen pada dasarnya adalah perencanaan segala sesuatu secara mantap untuk melahirkan keyakinan yang berdampak pada melakukan sesuatu sesuai dengan aturan serta memiliki manfaat. Dalam hadits riwayat Imam Tirmidzi dari Abi Hurairah Rasulullah saw. bersabda,
“Diantara baiknya, indahnya keislaman seseorang adalah yang selalu meninggalkan perbuatan yang tidak ada manfaatnya.” (HR. Tirmidzi)
Perbuatan yang tidak ada manfaatnya adalah sama dengan perbuatan yang tidak pernah direncanakan. Jika perbuatan itu tidak pernah direncanakan, maka tidak termasuk dalam kategori manajemen yang baik.

B. Organisasi Membutuhkan Manajemen
Allah sangat mencintai perbuatan-perbuatan yang termana dengan baik, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an siraj ash-Shaff:4,
“Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kukuh.” (Ash-Shaff:4).
Kukuh di sini bermakna adanya sinergi yang rapi antara bagian yang satu dan bagian yang lain. Jika hal ini terjadi, maka akan menghasilkan sesuatu yang maksimal. Dalam Al-Qur’an surah At-Taubah: 71, Allah swt. berfirman,
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (At-Taubah: 71).
Pendekatan manajemen merupakan suatu keniscayaan, apalagi jika dilakukan dalam suatu organisasi atau lembaga. Dengan organisasi yang rapi, akan dicapai hasil yang lebih baik daripada yang dilakukan secara individual.
Kelembagaan itu akan berjalan dengan baik jiak dikelola dengan baik. Organisasi apa pun, senantiasa membutuhkan manajemen yang baik.
Ali bin Abi Thalib r.a. menggambarkan betapa kebatilan yang diorganisasi dengan rapi akan mengalahkan kebaikan yang tidak diorganisasi dengan baik.
“Kebenaran yang tidak terorganisasi dengan rapi, dapat dikalahkan oleh kebatilan yang diorganisasi dengan baik”.
Ali bin Abi Thalib r.a. menegaskan tentang perlunya organisasi.
Intinya, Ali Bin Abi Thalib r.a. ingin mendorong kaum muslimin agar jika melakukan sesuatu yang hak, hendaknya ditata dan disusun dengan rapi agar tidak terkalahkan oleh kebatilan yang disusun secara rapi. Dominasi kemungkaran sering terjadi, bukan karena kuatnya kemungkaran itu, akan tetapi karena tidak rapinya kekuatan “hak”.

C.  Materi Dalam Manajemen Syariah
Pembahasan pertama dalam manajemen syariah adalah perilaku yang terkait dengan nilai-nilai keimanan dan ketauhidan. Jika setiap perilaku orang yang terlibat dalam sebuah kegiatan dilandasi dengan nilai tauhid, maka diharapkan perilakunya akan terkendali dan tidak terjadi perilaku KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) karena menyadari adanya pengawasan dari yang Mahatinggi, yaitu Allah swt. yang akan mencatat setiap amal perbuatan yang baik maupun yang buruk. Firman Allah dalam Al-Qur’an surah az-Zalzalah: 7-8,
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Az-Zalzalah: 7-8).
Hal ini berbeda dengan perilaku dalam manajemen konvensional yang sama sekali tidak terkait bahkan terlepas dari nilai-nilai tauhid. Orang-orang yang menerapkan manajemen konvensional tidak merasa adanya pengawasan melekat, kecuali semata-mata pengawasan dari pemimpin atau atasan. Setiap kegiatan dalam manajemen syariah, diupayakan menjadi amal saleh yang benilai abadi.
Istilah amal saleh tidak semata-mata diartikan ‘perbuatan baik’ seperti yang dipahami selama ini, tetapi merupakan amal perbuatan baik yang dilandasi iman, dengan beberapa persyaratan sebagai berikut.
  1. Niat yang ikhlas karena Allah. Suatu perbuatan, walaupun terkesan baik, tetapi jika tidak dilandasi keikhlasan karena Allah, maka perbuatan itu tidak dikatakan sebagai amal saleh. Niat yang ikhlas hanya akan dimiliki oleh orang-orang yang beriman. Perhatikan firman Allah dalam surah al-Bayyinah: 5 berikut,
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah: 5)
  1. Tata cara pelaksanaannya sesuai dengan syariat. Suatu perbuatan yang baik tetapi tidak sesuai dengan ketentuan syariat, maka tidak dikatakan sebagai amal saleh. Sebagai contoh, seseorang yang melakukan shalat ba’diyah ashar. Kelihatannya perbuatan itu baik, tetapi tidak sesuai dengan ketentuan syariat, maka ibadah itu bukan amal saleh bahkan dikatakan bid’ah.
  2. Dilakukan dengan penuh kesungguhan. Perbuatan yang dilakukan asal-asalan tidak termasuk amal saleh. Sudah menjadi anggapan umum bahwa karena ikhlas (sering disebut dengan istilah lillahi ta’ala), maka suatu pekerjaan dilaksanakan dengan asal-asalan, tanpa kesungguhan. Justru sebaliknya, amal perbuatan yang ikhlas adalah amal yang dilakukan dengan penuh kesungguhan. Keikhlasan seseorang dapat dilihat dari kesungguhannya dalam melakukan perbuatannya. Jadi, bukti keikhlasan itu adalah dengan kesungguhan, dengan mujahadah.
Ikhlas juga sering diartikan sebagai suatu pekerjaan pekerjaan tanpa upah, akibatnya muncul pandangan bahwa orang yang menerima gaji dari pekerjaannya (misalnya mengajar), maka dikatakan tidak ikhlas dalam mengajar. Hal ini perlu diluruskan. Keikhlasan seseorang dalam beramal tidak bisa diukur dengan materi atau upah yang ia terima. Bisa saja seseorang bekerja dengan menerima gaji yang tinggi tetapi ia ikhlas dalam pekerjaannya. Sebaliknya, ada pula orang yang bekerja dengan upah sedikit tapi tidak ikhlas, atau menjadi tidak ikhlas dalam pekerjaannya karena upah yang kecil.



 









Gambar Syariat Amal Saleh

Iman dan amal saleh adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ada sebuah dialog yang menarik antara Rasulullah saw. dengan seorang sahabat, sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, amal perbuatan apa yang paling utama?”
Rasulullah kemudian mengatakan, “Beriman kepada Allah dan Rasul”.
Berdasarkan hal ini dapat dilihat bahwa sahabat bertanya mengenai amal, dan jawaban Rasulullah adalah iman. Jadi amal yang paling utama adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal ini untuk menegaskan bahwa antara amal saleh dan iman adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kemudian sahabat bertanya lagi, “Kemudian setelah saya beriman kepada Allah dan Rasul, apa lagi?”
Rasulullah mengatakan, “Kamu berjihad di jalan Allah.”
Jadi, perjuangan dalam menegakkan agama Allah sesuai dengan keahlian masing-masing merupakan bagian dan keimanan dan dan bagian dari amal saleh. Tingkatan kedua setelah beriman adalah jihad berjuang di jalan Allah. Jihad tidak semata-mata diartikan hanya sebatas “qital” (perang), tetapi juga sebagai usaha sungguh-sungguh yang dilakukan dalam menegakkan agama Allah. Pengertian jihad itu luas, jihad dengan ilmu, jihad dengan harta benda, atau jihad dengan jabatan bagi pemimpin atau manager. Setiap amal perbuatan yang dilakukan dengan kesungguhan untuk menegakkan agama Allah, itulah jihad. Kemudian sahabat tadi bertanya lagi, “Kemudian apa lagi lagi ya Rasululah?”
Rasul menjawab, “Haji yang mabrur.”
Inilah salah satu kelompok amal yang disebutkan Rasullah sebagai amal yang utama.
Berbicara mengenai manajemen sebenarnya tidak dapat dilepaskan dengan perilalku. Untuk masa yang akan datang, manajemen syariah akan diarahkan kepada manajemen perilaku. Arahnya adalah memperbaiki bagaimana ia berperilaku secara benar dan konsisten, merasa diawasi oleh Allah ketika melaksanakan suatu pekerjaan, sehingga tanggung jawabnya bukan hanya kepada pemimpin, tetapi kepada Allah swt. Dalam menajeman syariah, aspek tauhid sangatlah kuat, sehingga seseorang akan benar dan jujur ketika diawasi oleh manusia serta akan tetap benar dan jujur ketika tidak diawasi oleh manusia.
Hal kedua yang dibahas dalam manajemen syariah adalah struktur organisasi. Struktur organisasi sangatlah perlu. Adanya struktur dan stratifikasi dalam Islam dijelaskan dalam surah al-An’aam: 165,
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk menguji tentang apa yang diberikan-Nya dan sesungguhnya Tuhanmu amat capat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-An’aam: 165)
Dalam ayat diatas dikatakan, “Allah meninggikan seseorang di atas orang lain beberapa derajat.” Hal ini menjelaskan bahwa dalam mengatur kehidupan dunia, peranan manusia tidak akan sama. Kepintaran dan jabatan seseorang tidak akan sama. Sesunguhnya struktur ini merupakan sunnatullah. Ayat ini mengatakan bahwa kelebihan yang diberikan itu (struktur yang berbeda-beda) merupakan ujian dari Allah dan bukan digunakan untuk kepentingan sendiri. Manajer yang baik, yang mempunyai posisi penting, yang  strukturnya paling tinggi, akan berusaha agar ketinggian struktur itu menyebabkan kemudahan bagi orang lain dan memberikan kesejateraan bagi orang lain.
Hal ketiga yang dibahas dalam manajemen syariah adalah sistem. Sistem syariah yang disusun dijadikan perilaku pelakunya berjalan dengan baik. Keberhasilan sistem ini dapat dilihat pada Aziz sebagai khalifah. Sistem pemerintahan Umar bi Abdul Aziz dapt dijadikan salah satu caontoh sistem yang baik. Telah ada sistem pengajian yang rapi (namanya). Pada zaman Umar bin Abdul Aziz juga telah ada sistem pengawasan, sehingga di zaman beliau clear governance dan sistem yang berorientasi kepada rakyat dan masyarakat benar-benar tercipta, hanya saja saat itu belum dibakukan dalam bentuk aturan-aturan.



* Disampaikan untuk Pengabdian kepada Masyarakat pada 24 Desember 2007 di Pimpinan Ranting Muhammadiyah Margoagung Seyegan Sleman Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar