Minggu, 21 Agustus 2011

10 hari terakhir Ramadhan


10 HARI TERAKHIR RAMADHAN DAN AMALANNYA
 Oleh: Wahyu Purhantara

Ramadhan sudah hampir selesai, namun apakah  puasa dan amalan Ramadhan sudah kita kerjakan secara optimal sesuai syariat dan kehendak Al Qur'an dan As Sunnah? Ini pertanyaan yang selalu mengganggu pikiran, karena Ramadhan telah hampir meninggalkankan kita.

Di 10 hari terakhir ini, Allah akan memberikan ampunan atas dosa-dosa kita, selama kita dapat mengerjakan ibadah dan segenap rangkaiannya dikerjakan secara optimal (kaidah yang sebenarnya), dan lebih-lebih mendapatkan malam 1000 bulan atau lailatul qodr. Ada beberapa amalan di 10 hari terakhir. Berikut ini saya kutipkan dari : http://al-atsariyyah.com tentang amalan yang harus kita kerjakan di 10 hari terakhir, yaitu:

Dari ‘Aisyah radhiallahu anha dia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila memasuki sepuluh akhir (dari bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarung, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya “. (HR. Al-Bukhari no. 1884 dan Muslim no. 2008)
 
Dalam lafazh yang lain:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مَا لَا يَجْتَهِدُ فِي غَيْرِهِ
“Pada sepuluh terakhir bulan Ramadlan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih giat beribadah melebihi hari-hari selainnya.” (HR. Muslim no. 2009)

Ada dua penafsiran di kalangan ulama mengenai makna ‘mengencangkan sarung’:
  1.  Ini adalah kiasan dari memperbanyak ibadah, fokus untuk menjalankannya, dan bersungguh-sungguh di dalamnya. Ini adalah kiasan dari menjauhi berhubungan dengan wanita. 
  2. Ini adalah pendapat Sufyan Ats-Tsauri dan yang dirajihkan oleh Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahumallah.
  3. Makna ‘menghidupkan malam’ adalah mengisinya dengan ibadah dibandingkan tidur yang merupakan saudara dari kematian.
  4. Makna ‘membangunkan keluarga’ adalah mendorong dan memerintah keluarga untuk mengisi malam-malam itu dengan ibadah.
Pada dasarnya, membangunkan keluarga untuk shalat malam adalah hal yang disunnahkan. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ رَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ
“Allah merahmati seseorang yang bangun malam kemudian shalat lalu membangunkan isterinya, apabila isterinya menolak, dia akan memercikkan air ke mukanya. Dan Allah merahmati seorang isteri yang bangun malam lalu shalat, kemudian dia membangunkan suaminya, apabila suaminya enggan, maka isterinya akan memercikkan air ke muka suaminya.” (HR. Abu Daud no. 1113, An-Nasai no. 1592, dan Ibnu Majah no. 1326)

Akan tetapi hal ini lebih disunnahkan lagi di 10 terakhir ramadhan. Karena shalat lail mengandung banyak keutamaan sehingga tidak pantas bagi seorang muslim atau keluarganya untuk luput darinya. 10 hari terakhir juga adalah penutup bulan ramadhan, sementara setiap amalan itu tergantung dengan penutupnya. Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’ad radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
وَإِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ
“Dan sungguh amalan itu ditentukan dengan penutupannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6117)
Kemudian, ibadah yang dianjurkan untuk dilakukan pada 10 hari ini tidak terbatas pada shalat lail saja, akan tetapi mencakup semua jenis ibadah seperti membaca Al-Qur`an, berdzikir, berdoa, bersedekah, dan selainnya.

Di antara keistimewaan 10 hari ini adalah di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1000 bulan atau yang dikenal dengan malam al-qadr. Pada malam ini Al-Qur`an diturunkan, pada malam ini ditetapkan takdir untuk setahun berikutnya, dan pada malam ini terdapat banyak pengampunan. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi kami. Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul.” (QS. Ad-Dukhan: 3-5). Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadlan dengan penuh keimanan dan mengharap (pahala dari Allah), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni. Dan siapa yang menegakkan (shalat pada malam) pada lailatul Qadr dengan keimanan dan mengharap (pahala dari Allah), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Al-Bukhari no. 34 dan Muslim no. 1268)

Karena semua keutamaan inilah, sebagian ulama berpendapat bahwa 10 terakhir ramadhan itu lebih utama dibandingkan 10 hari pertama dzulhijjah. Wallahu a’lam.

Jumat, 19 Agustus 2011

Aqidah Anak


MENANAMKAN AQIDAH KEPADA ANAK

Akidah adalah fondasi yang kokoh bagi bangunan peradaban Islam. Tanpa akidah yang terpancang, kekuatan peradaban yang bangun akan goyah. Dan tugas menanamkan akidah adalah tugas setiap keluarga muslim kepada anak-anak mereka.
Yakinlah, lembaga sekolah tidak bisa menjamin bisa menggantikan tugas penting orang tua itu. Tapi, mungkin sekolah bisa memberi pengayaan pengetahuan tentang data-data yang menguatkan akidah dan pokok-pokok ajaran agama kepada anak-anak kita.
Menanamkan akidah ke dalam hati anak-anak kita memang bukan pekerjaan instant. Butuh waktu dan kesabaran. Sebab, akidah adalah masalah yang abstrak. Tapi yakinkan kepada anak kita bahwa sekarang mungkin mereka tidak mengerti, seiring dengan waktu dan berkembangnya pikiran mereka, kelak mereka akan paham.
Pemahaman akidah yang seperti apa yang harus kita tanamkan kepada anak-anak kita sejak dini? Tentu saja tentang Allah swt., tentang kitab-kitab samawi, tentang malaikat, tentang nabi dan rasul, tentang hari akhir. Tentu saja perlu bahasa sederhana untuk menyampaikan hal-hal yang badihi (aksiomatik) tentang itu semua.Sebagai contoh, kenalkan kepada anak kita tentang hal-hal berikut ini:
1.      Allah adalah Maha Esa. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan tidak ada yang menyerupai Dia.
2.     Setiap makhluk, termasuk anak kita, butuh kepada Allah swt. dan Allah swt. tidak butuh kepada selain diri-Nya.
3.      Mengesakan Allah dalam ibadah adalah wajib.
4.      Rahmat Allah swt. sangat luas sedangkan siksa-Nya sangat pedih.
5.      Allah swt. mencintai hambanya yang taat dan membenci orang yang maksiat.
6.      Dalam beribadah kepada-Nya, kita tidak membutuhkan perantara.
7.      Hanya kepada Allah swt., kita meminta. Tidak kepada yang lain.
8.      Tidak ada ketaatan terhadap makhluk jika harus bermaksiat kepada Allah swt.
9.      Kita hanya diajurkan untuk memikirkan makhluknya, tidak memikirkan Dzat Allah swt.
10.  Dia Allah swt. yang memberi manfaat dan mudharat. Tidak ada yang memberi manfaat dan mudharat tanpa seizin-Nya.
11.  Kita mengimani bahwa Allah swt. telah mengutus Rasul-Nya untuk membimbing umat manusia.
12.  Semua Rasul menyuruh kepada tauhid dan beriman kepada Allah swt.
13.  Para Rasul adalah maksum (terpelihara) dari dosa dan kemaksiatan.
14.Rasul kita adalah Muhammad saw. yang diutus untuk seluruh manusia, sedangkan rasul-rasul sebelumnya diutus hanya untuk kaumnya saja.
15.  Jumlah Rasul banyak, dan hanya 25 orang dari mereka yang telah dikisahkan oleh Allah kepada kita melalui Al-Qur’an.
16.  Rasul yang tergolong ulul ‘azmi (yang memiliki keteguhan hati) ada lima orang, yaitu Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad saw.
Masih banyak lagi hal-hal yang aksiomatik dalam akidah Islam yang bisa kita tanamkan kepada anak-anak kita. Tapi, jangan sampai kita menyampaikan hal-hal yang menjadi perselisihan di kalangan ulama agar mereka tidak bingung.
Alhamdulillah, saat ini sudah banyak buku-buku, nasyid (lagu-lagu), dan VCD yang berisi pelajaran tentang akidah dengan bahasa yang sederhana. Kita bisa memakainya sebagai sarana. Ingat, kita memakai semua sarana itu untuk mengajarkan akidah kepada anak-anak kita, bukan membiarkan anak kita bersama dengan sarana-sarana itu. Sebab, sarana (baca: alat) tidak bisa mengajarkan tanpa ada yang aktif menggunakan sarana itu mengajarkannya (baca: guru). Jadi, peran kita, orang tua, tidak pernah tergantikan dengan apa pun!
Semoga kita bisa menunaikan tugas ini. Jika Allah swt. bertanya nanti di hari penghitungan amal, kita telah siap dengan jawaban, “Ya Allah, aku telah mengenalkan diri-Mu dan Rasul-Mu kepada anak-anakku siang dan malam.”

Sumber: dakwatuna.com

Minggu, 14 Agustus 2011

Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah-4


PENETRASI MISSI KRISTEN
Oleh: Wahyu Purhantara
 
Keadaan umat Islam Indonesia yang terpuruk adalah sebuah fenomena yang disikapi positif dan dimanfaatkan oleh pihak Belanda yang mendukung adanya kegiatan misi Katolik dan Zending Kristen. Missionaris Kristen Belanda semakin gencar menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat (Rusli Karim, 1986: 85). Setelah Hindia Belanda terbuka untuk kegiatan missionaris, baik Roma Katholik maupun Protestan, maka berlomba-lombalah berbagai organisasi zending dan missi yang didukung oleh dana swasta antara lain: Nederlandsch Zending Genootschap atau NZG dan Nederlands Bijbel Genootschap atau NBG (Syaifullah. 1997: 57). Gerakan ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk melancarkan gerakan Kristening Politiek dalam rangka mendukung kepentingan politik kolonialnya (Farid Fathoni, 1990: 36).
Jauh sebelumnya, penetrasi Kristen berawal ketika para penguasa kraton Yogyakarta, atas desakan pemerintah kolonial Belanda, menyetujui pencabutan larangan penginjilan terhadap masyarakat Jawa (Alwi Shihab, 1998: 141). Sejak saat itu, Jawa sebagai konsentrasi kebanyakan kaum muslim, mulai terbuka untuk kegiatan missionaris Kristen. Pada masa Politik Etis dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda missi Kristen lebih digalakkan melalui jalur pendidikan.
Sebagai negara Kristen, pemerintah Belanda berkewajiban untuk mengatur kedudukan hukum rakyat Kristen yang berada di kepulauan Hindia Belanda, memberikan dukungan yang lebih kuat terhadap penyebaran Kristen dan memberikan penerangan kepada segenap petugas bahwa Belanda mempunyai kewajiban moral yang harus dipenuhi terhadap negara jajahan. Bahkan Gubernur Jendral Idenburg membagi-bagikan kartu namanya yang disebut sebagai pasar Zondag Circulaires yaitu suatu edaran tentang pasar pada hari Minggu, melarang semua pesta dan kegiatan pada hari itu. Pemerintah Belanda membangun rumah sakit, lembaga pendidikan dan agresif dalam penyebaran agama Kristen, dan subsidi besar-besaran pada missi Kristen. Bagi kaum muslim, pemberian ijin oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap penyebaran ajaran Injil di Jawa adalah suatu bukti bahwa pemerintah kolonial berkeinginan untuk mengkristenkan masyarakat Jawa (Alwi Shihab, 1998: 141). Pemerintah Hindia Belanda turut campur tangan dalam ibadah haji. Para jamaah haji dicurigai, dianggap fanatik dan bibit tukang pemberontak. Akibatnya pada tahun 1902 pelaksanaan ibadah haji perlu dibatasi.
Proses Kristenisasi ini digambarkan Lothrop Stoddart sebagai suatu tindakan yang tidak dapat dilupakan oleh rakyat yang terjajah mengenai kebobrokan politik penjajahan yang mempergunakan kesucian agama bagi kepentingan busuk kolonialismenya. Misalnya, apa yang telah dikerjakan oleh Gubernur Jendral Idenburg, dengan politik ‘pengkristenan’nya terhadap seluruh penduduk Nusantara, sedikit demi sedikit, secara teratur dan berencana. Politik untuk mengkristenkan penduduk Indonesia itu cukup jahat untuk menanamkan cakar kolonialismenya. (Lothrop Stoddard, 1966, 306). Penguasaan cengkeraman imperialisme Belanda sangat nyata dan berkembang pesat di Indonesia Timur. Untuk itu secara terang-terangan Pemerintah Kolonial Belanda menyatakan secara terbuka bahwa Pemerintah Hindia Timur adalah representasi sebuah negara Kristen (Alwi Shihab, 1998: 142).
Di dalam menghadapi masyarakat muslim, pemerintah kolonial Belanda sangat menunjukkan ambiguitasnya. Di satu sisi, Belanda memandang Islam sebagai agama yang harus diperlakukan secara netral. Sementara di pihak lain, mereka melakukan upaya-upaya untuk menyudutkan Islam dengan memperbesar kegiatan missi Kristen melalui bantuan-bantuan finansial. Sikap ambigu ini memang sengaja diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda guna mengurangi sikap-sikap negatif dan kecurigaan dari umat muslim Indonesia. Bagaimanapun, umat muslim Indonesia memiliki kekuatan sehingga mereka harus hati-hati dalam bertindak dan bersikap. Pengalaman di perang Aceh adalah bukti bahwa umat muslim memiliki kekuatan yang luar biasa, sehingga Snoucke Hurgronje diperintah untuk mempelajari Islam guna menghancurkan umat muslim di Indonesia, khususya di Aceh (Alwi Shihab, 1998: 82-87). Atas dasar pengalaman ini, maka pemerintah kolonial Belanda harus pintar bermain mata dengan umat Islam agar dukungan kristenisasi di Indonesia tidak mendapat perlawanan yang serius.

Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah-3


KEGAGALAN SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN
Oleh: Wahyu Purhantara

Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cenderung bersifat tradisional telah mengalami kegagalan dalam mencetak generasi-generasi yang siap memenuhi tantangan zaman. Hal ini sebagai akibat dari sikap mengisolasi dari pengaruh luar serta disebabkan adanya sistem pendidikan yang kolot, yaitu pola pendidikan yang tidak sesuai dengan kemajuan zaman (Rusli Karim, 1986, 95). Kondisi yang demikian ini diperparah lagi oleh keadaan umat Islam yang hidup dalam alam pemikiran atau fanatisme yang sempit. Mereka bersikap taqlid buta, bertindak sangat dogmatis (Sutrisno Kutoyo, 1985: 118), dan menerima ajaran Islam tanpa mempertimbangkan kebenaran sumber.
Dalam kehidupan beragama ini terjadi kemerosotan ruhul Ishmi, jika dilihat dari ajaran Islam yang bersumber pada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Pengamalan ajaran Islam bercampur dengan tahayul, bid'ah, churafat. Di samping itu, pemikiran umat Islam juga terbelenggu oleh otoritas mazhab dan taqlid kepada para ulama sehingga ijtihad tidak dilakukan lagi. Dalam pengajaran agama Islam, secara umum Al Qur'an yang menjadi sumber ajaran hanya diajarkan pada tingkat bacaan, sedangkan terjamahan dan tafsir hanya boleh dipelajari oleh orang-orang tertentu saja (www. Muhammadiyah.or.id). Sementara itu, pertentangan yang bersumber pada masalah khilafiyah dan firu'iyah sering muncul dalam masyarakat Muslim, akibatnya muncul berbagai firqah dan pertentangan yang bersifat laten.
Anehnya, masyarakat muslim pedesaan lebih suka mengirimkan anak-anak mereka ke pesantren, atau hanya sekedar ke lembaga pendidikan informal lain yang mengajarkan pengetahuan dasar agama Islam. Sedang pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial hanya diikuti oleh anak-anak  pejabat pemerintah dan golongan kaum priyayi. Akan tetapi, sebenarnya ada dualisme cara memandang pendidikan Barat ini (www. Muhammadiyah.or.id). Di satu sisi pendidikan Barat sebagai perwujudan dari pengaruh Barat atau Kristen terhadap lingkungan sosial dan budaya lokal maupun Islam. Di sisi yang lain, secara objektif pendidikan Barat dapat dilihat sebagai faktor penting untuk mendinamisasi masyarakat pribumi yang mayoritas beragama Islam.
               Sementara itu, menurut Syaifullah (1997: 43-53), ada beberapa kondisi yang menyengaja kondisi umat Islam agar semakin terpuruk peradabannya. Salah satunya adalah kaum intelektual Indonesia yang telah mendapat pendidikan Barat. Mereka cenderung bersikap negatif terhadap Islam. Golongan ini dianggap sebagai antek-antek Belanda. Mereka lebih bersikap acuh tak acuh dan apatis terhadap umat Islam Indonesia dan agama Islam. Mereka beranggapan bahwa Islam adalah agama yang telah mengalami out of to date, menghambat kemajuan, kolot, dan tidak sesuai dengan kemajuan zaman, tidak dapat menerima budaya Barat yang cenderung lebih fulgar dan keduniawian.

Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah-2


PROBLEM SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA ABAD XIX
Oleh: Wahyu Purhantara

Sikap pemerintah penjajah Hindia Belanda selalu menekan penduduk pribumi dalam berbagai segi kehidupan. Pemerintah Hindia Belanda memegang kekuasaan yang sangat kuat, sehingga ia mampu menentukan segala sesuatunya di bumi Nusantara (Tim Pembina Al Islam dan Kemuhammadiyahan, 1990: 8). Ini dapat dibuktikan dengan adanya kekuatan pemerintah kolonial Belanda dalam hal bersikap kepada masyarakat Jawa, dimana ia berhasil membuat pertentangan antara kelompok elit dengan kelompok masyarakat bawah. Kelompok elit Jawa ditempati oleh kaum priyayi dan kaum muslim yang dangkal tingkat komitmen keislamannya. Sementara kelompok masyarakat bawah terdiri dari kaum pedesaan dan kaum muslim yang sangat taat. Kedua kelompok ini sering dipertentangkan oleh pihak pemerintah kolonial Belanda, dan jarang sekali terjadi kolaborasi dan simbiosis yang saling menguntungkan. Konflik antara kelompok elit dengan kelompok masyarakat bawah sengaja diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda, dan ia berhasil mendapatkan keuntungan dari konflik itu. Pada awal abad ke-20, kelompok elit atau kalangan priyayi adalah kelompok yang paling banyak mendapat keuntungan. Merekalah yang pertama kali mendirikan dan mengorganisasikan lembaga-lembaga pendidikan sekuler. Sejalan dengan watak kebudayaan priyayinya, organisasi ini diarahkan untuk bersikap murni sekuler terhadap agama. Tujuan organisasi ini jelas, yaitu menghidupkan kembali kebudayaan Jawa melalui penyatuannya dengan pandangan Barat (Alwi Shihab, 1998: 135-139). Sementara itu kelompok masyarakat bawah yang diwakili oleh kelompok santri semakin kecewa atas sikap pemerintah Hindia Belanda yang memperlihatkan dukungannya kepada kelompok priyayi.
Keadaan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Islam, sangat menyedihkan baik dalam hal kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budayanya.  Akibat penjajahan Belanda, telah mengakibatkan mereka jatuh dalam kehidupan yang miskin, bodoh, kolot, dan mundur. Lebih jauh, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka menyebutnya dengan: pertama, keterbelakangan dan kebodohan umat Islam Indonesia di hampir semua bidang kehidupan. Kedua, suasana kemiskinan yang parah diderita umat Islam Indonesia dalam suatu negeri yang kaya. Ketiga, kondisi pendidikan Islam yang sudah ketinggalan zaman, seperti yang dapat terlihat dalam lembaga pendidikan pesantren (Sazali, 2005: 75). Ketiadaan persatuan dan kesatuan sikap, pendapat, langkah dan tindakan di antara umat Islam dalam perjuangan yang diakibatkan oleh tidak adanya ukhuwah Islamiyah serta ketidakadaan suatu organisasi yang kuat (Farid Fathoni, 1990: 36).