Jumat, 29 Juli 2011

MENYOAL LINK AND MATCH


MENYOAL MODEL PENDIDIKAN LINK AND MATCH DI SEKOLAH KEJURUAN

Oleh: Wahyu Purhantara

Ditinjau secara sistemik, pendidikan kejuruan pada dasarnya merupakan subsistem dari sistem pendidikan. Terdapat banyak definisi yang diajukan oleh para ahli tentang pendidikan kejuruan dan definisi-definisi tersebut berkembang seirama dengan persepsi dan harapan masyarakat tentang peran yang harus dijalankannya, Evans & Edwin (1978:24) mengemukakan bahwa: “pendidikan kejuruan merupakan bagian dari sistem pendidikan yang mempersiapkan individu pada suatu pekerjaan atau kelompok pekerjaan”. Menurut House Committee on Education and Labour (HCEL) dalam (Oemar H. Malik, 1990:94) bahwa: “pendidikan kejuruan adalah suatu bentuk pengembangan bakat, pendidikan dasar keterampilan, dan kebiasaan-kebiasaan yang mengarah pada dunia kerja yang dipandang sebagai latihan keterampilan”. Dari definisi tersebut terdapat satu pengertian yang bersifat universal seperti yang dinyatakan oleh National Council for Research into Vocational Education Amerika Serikat (NCRVE, 1981:15), yaitu bahwa “pendidikan kejuruan merupakan subsistem pendidikan yang secara khusus membantu peserta didik dalam mempersiapkan diri memasuki lapangan kerja”.
Sedangkan menurut Undang – Undang No.2 tentang Sistim Pendidikan Nasional : Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan perserta didik untuk dapat berkerja dalam bidang tertentu. Atau yang lebih spesifik dalam Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, yaitu : Pendidikan Menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk pelaksanaan jenis pekerjaan tertentu. Dari definisi di atas dapat disimpulkan Pendidikan Kejuruan adalah pendidikan yang mempersiapkan perserta didiknya untuk memasuki lapangan kerja.
Finch & Crunkilton (1984:161) menyebutkan: “pendidikan kejuruan sebagai pendidikan yang memberikan bekal kepada peserta didik untuk bekerja guna menopang kehidupannya (education for earning a living). Dengan demikian sekolah kejuruan adalah salah satu ciri pendidikan kejuruan dan yang sekaligus membedakan dengan jenis pendidikan lain adalah orientasinya pada penyiapan peserta didik untuk memasuki lapangan kerja.
Dari berbagai pengertian diatas dapat diterik benang merah bahwa pendidikan kejuruan mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja pada bidang tertentu, berarti pula mempersiapkan mereka agar dapat memperoleh kehidupan yang layak melalui pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan masing-masing serta norma-norma yang berlaku.

Pola Pembelajaran Pendidikan Kejuruan

Ciri pendidikan kejuruan yang utama adalah sebagai persiapan untuk memasuki dunia kerja dengan pola latihan dalam pekerjaan (on the job training) dan pola magang (apprenticeship). Pada pola latihan dalam pekerjaan, peserta didik belajar sambil langsung bekerja sebagai karyawan baru tanpa ada orang yang secara khusus ditunjuk sebagai instruktur, sehingga tidak ada jaminan bahwa peserta didik akan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan. Walaupun demikian, pola latihan dalam pekerjaan memiliki keunggulan karena peserta didik dapat langsung belajar pada keadaan yang sebenarnya sehingga mendorong dia belajar secara inkuiri.
Pada pola magang diberikan oleh karyawan senior yang secara khusus ditugasi sebagai instruktur bagi karyawan baru (peserta didik) yang sedang belajar. Instruktur tersebut bertanggungjawab untuk membimbing dan mengajarkan pengetahuan serta keterampilan yang sesuai dengan tugas karyawan baru yang menjadi asuhannya. Dengan demikian pola magang relatif lebih terprogram dan jaminan bahwa karyawan baru akan dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan tertentu lebih besar dibanding pola latihan dalam pekerjaan.

Pendidikan Kejuruan Bertujuan:

1.      memberikan bekal keterampilan individual dan keterampilan yang laku di masyarakat, sehingga peserta didik secara ekonomis dapat menopang kehidupannya,
2.      membantu peserta didik memperoleh atau mempertahankan pekerjaan dengan jalan memberikan bekal keterampilan yang berkaitan dengan pekerjaan yang diinginkannya,
3.      mendorong produktivitas ekonomi secara regional maupun nasional,
4.      mendorong terjadinya tenaga terlatih untuk menopang perkembangan ekonomi dan industri,
5.      mendorong dan meningkatkan kualitas masyarakat melalui proses pemberian motivasi kerja kepada peserta didik untuk menerapkan berbagai pengetahuan yang diperolehnya.

Kelompok Pendidikan Kejuruan

Pendidikan kejuruan dapat dikelompokkan berdasarkan jenjang dan menurut struktur programnya. Pengelompokan berdasarkan jenjang dapat didasarkan atas jenjang kecanggihan keterampilan yang dipelajari atau jenjang pendidikan formal yang berlaku Jenjang pendidikan formal yang berlaku dikenal pendidikan kejuruan tingkat sekolah menengah (secondary) atau sekolah menengah kejuruan (SMK) dengan berbagai program keahlian seperti Listrik, Elektronika Manufaktur, Elektronika Otomasi, Metals, Otomotif, Teknik Pendingin, Gambar Bangunan, Konstruksi Baja, Tata Busana, Tata Boga, Travel and Tourism, penjualan, akuntansi, manajemen perkantoran, tehnik informatika, tehnik komputer dan sebagainya serta tingkat di atas sekolah menengah (post secondary) misalnya politeknik (IEES, 1986:124)
Berdasarkan struktur programnya, khususnya dalam kaitan dengan bagaimana sekolah kejuruan mendekatkan programnya dengan dunia kerja, Evans seperti yang dikutip oleh Hadiwiratama (1980:60-69) membagi sekolah kejuruan menjadi lima kategori, yaitu
1.    program pengarahan kerja (pre vocational guidance education),
2.    program persiapan kerja (employability preparation education),
3.    program persiapan bidang pekerjaan secara umum (occupational area preparation education),
4.    program persiapan bidang kerja spesifik (occupational specific education), dan
5.    program pendidikan kejuruan khusus (job specific education).
Pada program pengarahan kerja, sekolah memberikan pengetahuan dasar dan umum tentang berbagai jenis pekerjaan di masyarakat sekaligus menumbuhkan apresiasi terhadap berbagai pekerjaan tersebut, sedangkan pada program persiapan kerja, sekolah memberikan dasar-dasar sikap dan keterampilan kerja, meskipun masih bersifat umum. Dengan program ini diharapkan peserta didik mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan, meskipun tentunya masih harus melalui latihan di dalam pekerjaan.
Untuk program persiapan bidang pekerjaan secara umum, sekolah memberikan bekal guna meningkatkan kemampuan bekerja untuk bidang pekerjaan yang memerlukan pengetahuan, peralatan yang sejenis. Dengan program ini diharapkan peserta didik mempunyai pilihan lapangan pekerjaan yang lebih jelas dan lebih cepat mengikuti latihan di dalam pekerjaan.
Program persiapan kerja yang spesifik memberikan bekal yang sudah mengarah kepada jenis pekerjaan tertentu, meskipun belum pada suatu perusahaan tertentu. Lebih khusus lagi adalah program pendidikan kejuruan khusus yang sudah terarah pada pekerjaan khusus, yaitu mendidik siswa untuk memenuhi persyaratan yang diminta oleh suatu perusahaan tertentu.
Perjenjangan kedekatan pendidikan kejuruan yang disebutkan oleh Evans di atas berarti juga kesiapan lulusan dalam memasuki lapangan kerja. Makin khusus jenis pendidikan kejuruan akan makin siap lulusannya memasuki lapangan kerja, tetapi juga makin sempit bidang pekerjaan yang dapat dimasuki. Walaupun demikian, kecuali untuk keperluan tertentu pendidikan kejuruan yang khusus (job specific education) sangat sulit diterapkan di Indonesia, mengingat jenis industri di Indonesia sangat bervariasi. Di sini mulai timbulnya dilema antara siap pakai atau siap latih dalam pendidikan kejuruan.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, menurut Semiawan (1991:6), yang penting adalah kesiapan mental untuk mengembangkan dirinya serta keterampilan dasar untuk setiap kali dapat menyesuaikan diri kembali pada perubahan tertentu (retrain ability). Dengan bekal tersebut diharapkan lulusan sekolah menengah kejuruan tidak hanya terpancang pada jenis pekerjaan yang ada, tetapi juga terdorong untuk mewujudkan lapangan kerja baru dengan mengembangkan prakarsa dan kreativitasnya secara optimal.

Karakteristik Pendidikan Kejuruan
Meskipun pendidikan kejuruan tidak terpisahkan dari sistim pendidikan secara keseluruhan, namun sudah barang tentu mempunyai kekhususan atau karakteristik tertentu yang membedakannya dengan pendidikan yang lain. Perbedaan ini tidak hanya dalam definisi, struktur organisasi dan tujuan pendidikannya saja, tetapi juga tercermin dalam aspek-aspek lain yang erat kaitannya dengan perencanaan kurikulum, yaitu:

1. Orientasi pendidikannya
Keberhasilan belajar berupa kelulusan dari sekolah kejuruan adalah tujuan terminal, sedangkan keberhasilan program secara tuntas berorientasi pada penampilan para lulusannya kelak dilapangan kerja
2. Justifikasi untuk eksistensinya
Untuk mengembangan PTK perlu alasan atau jastifikasi khusus yang ini tidak begitu dirasakan oleh pendidikan umum. Jastifikasi khusus adalah adanya kebutuhan nyata yang dirasakan di lapangan.
3. Fokus kurikulumnya
Stimuli dan pengalaman belajar yang disajikan melalui pendidikan kejuruan mencakup rangsangan dan pengalaman belajar yang mengembangkan domain afektif, kognitif dan psikomotor berikut paduan integralnya yang siap untuk dipadukan baik pada situasi kerja yang tersimulasi lewat proses belajar mapupun nanti dalam situasi kerja yang sebenarnya. Ini termasuk sikap kerja dan orientasi nilai yang mendasari aspirasi, motivasi dan kemampuan kerjanya.
4. Kriteria keberhasilannya
Berlainan dengan pendidikan umum, kriteria untuk menentukan keberhasilan suatu lembaga pendidikan kejuruan pada dasarnya menerapkan ukuran ganda yaitu in school succes dan out of school succes. Kriteria pertama meliputi aspek keberhasilan siswa dalam memenuhi persyaratan kurikuler yang sudah diorientasikan ke persyaratan dunia kerja, sedang kriteria yang kedua diindikasikan oleh keberhasilan atau penampilan lulusan setelah berada di dunia kerja yang sebenarnya.
5.   Kepekaannya terhadap perkembangan masyarakat
Karena komitmen yang tinggi untuk selalu berorientasi ke dunia kerja, pendidikan kejuruan mempunya ciri lain berupa kepekaan atau daya suai yang tinggi terhadap perkembangan masyarakat dan dunia kerja. Perkembangan ilmu dan teknologi pasang surutnya dunia suatu bidang pekerjaan, inovasi dan penemuan-penemuan baru di bidang produksi barang dan jasa, semuanya itu sangat besar pengaruhnya terhadap kecenderungan perkembangan pendidikan kejuruan.
6.   Perbekalan logistiknya
Dilihat dari segi peralatan belajar, maka untuk mewujudkan situasi atau pengalaman belajar yang dapat mencerminkan situasi dunia kerja secara realistis dan edukatif diperlukan banyak perlengkapan, sarana dan perbekalan logistik yang lain. Bengkel dan laboratorium adalah kelengkapan umum yang menyertai eksistensi suatu sekolah kejuruan.
7.   Hubungannya dengan masyarakat dunia usaha.
Hubungan lebih jauh dengan masyarakat yang mencakup daya dukung dan daya serap lingkungan yang sangat penting perannya bagi hidup dan matinya suatu lembaga pendidikan kejuruan. Perwujudan hubungan timbal balik yang menunjang ini mencakup adanya dewan penasehat kurikulum kejuruan (curriculum advisory commite), kesediaan dunia usaha menampung anak didik sekolah kejuruan dalam program kerjasama yang memungkinkan kesempatan pengalaman belajar dilapangan.

Pendidikan Berbasis Link and Match
Konsep Link and Match telah dikumandangkan sejak tahun 1990-an. Saat itu wacana yang muncul sekolah kejuruan hanya sekedar menyiapkan lulusan yang siap training, siap dimodifikasi, dan siap ditambahkan ilmu. Padahal tuntutan para pengguna lulusan sekolah kejuruan adalah siap pakai, siap bekerja, dan sebagainya. Intinya industri tidak ingin hanya sekedar terkena beban kembali, dengan biaya yang cukup tinggi, untuk selain memberi gaji pada karyawan juga harus mengeluarkan dana yang cukup besar untuk kembali melatih
Menjalankan Link and Match bukanlah hal yang sederhana. Karena itu, idealnya, ada tiga komponen yang harus bergerak simultan untuk menyukseskan program Link and Match yaitu dunia pendidikan, dunia kerja (perusahaan) dan pemerintah. Dari ketiga komponen tersebut, peran pendidikan kejurusan merupakan keharusan dan syarat terpenting. Kreativitas dan kecerdasan pengelola pendidikan kejurusan menjadi faktor penentu bagi sukses tidaknya program tersebut.
Ada beberapa langkah penting yang harus dilakukan suatu pendidikan kejurusan untuk menyukseskan program Link and Match. Sekolah kejuruan harus mau melakukan riset ke dunia kerja. Tujuannya adalah untuk mengetahui kompentensi (keahlian) apa yang paling dibutuhkan dunia kerja dan kompetensi apa yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan salah satu perguruan tinggi di Indonesia diketahui, keahlian (kompentensi) yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja adalah kemampuan komputasi (komputer), berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan kemampuan akuntansi. Selain itu, sekolah kejuruan juga harus mampu memprediksi dan mengantisipasi keahlian (kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja dan teknologi sepuluh tahun ke depan.
Langkah terpenting adalah, pendidikan kejurusan harus menjalin relasi dan menciptakan link dengan banyak perusahaan agar bersedia menjadi arena belajar kerja (magang) bagi siswanya yang akan lulus. Dengan magang langsung (on the spot) ke dunia kerja seperti itu, lulusan tidak hanya siap secara teori tetapi juga siap secara praktik.
Persoalannya adalah pertama, pendidikan kejuruan di Indonesia sekarang ini masih mendua, di satu sisi menyiapkan peserta didik memasuki dunia kerja, di sisi lain melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi. Akibatnya lulusan sekolah menengah kejuruan tidak sepenuhnya memfokuskan perhatian untuk memasuki dunia kerja. Pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang spesifik, demokratis, dapat melayani berbagai kebutuhan individu. Kedua, program pendidikan kejuruan tidak hanya menyiapkan peserta didik memasuki dunia kerja, tetapi juga menempatkan lulusannya pada pekerjaan tertentu. Ketiga, output yang dihasilkan dari pendidikan kejuruan masih bersifat supply-driven atas kebutuhan masyarakat luas, bukan berdasar demand-driven yang dipandu oleh kebutuhan pasar kerja.
Kondisi ini perlu adanya perubahan sistem pendidikan dari sistem pendidikan, yaitu dari sistempendidikan yang berbasis sekolah dengan pemberian ijazah ke arah sistem pendidikan yang memberikan kompetensi sesuai dengan standar nasional yang baku atau sering disebut dengan sistem pendidikan berbasis market driven.
Caranya adalah upaya peningkatan keterampilan dan keahlian sumber daya manusia melalui sistem pendidikan kejuruan berdasarkan kompetensi yang dipacu oleh kebutuhan pasar. Pengembangan sistem ini didasarkan kepada asumsi bahwa sistem pendidikan kejuruan yang bersifat supply-driven yang diterapkan selama ini tidak dapat memenuhi kebutuhan pelanggan, baik pelanggan masa kini maupun pelanggan maa depan.
Meski demikian, hasil penelitian Endang Susilowati dari Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E - LIPI) menunjukkan bahwa program link and match masih terkonsentrasi pada tenaga kerja berpendidikan menengah dengan target komposisi SMK yang lebih tinggi daripada SMU. Hal ini masih perlu dikaji ulang, oleh karena para pemberi kerja masih lebih suka mempekerjakan lullusan SMU daripada SMK, dengan alasan fleksibilitas pelatihan. Istilah link and match sendiri tidak terlalu dipahami oleh beberapa narasumber dari industri terpilih. Keahlian yang dibutuhkan oleh pasar kerja tidak mengacu pada keahlian berdasarkan ijazah yang dimiliki. Tahap seleksi pekerja yang paling ditakuti oleh para pencari kerja adalah test ketrampilan/keahlian. Hal ini mengindikasikan ketidakyakinan baik si pencari kerja maupun pemberi kerja terhadap kualifikasi yang diperoleh dari pendidikan. Atas dasar itu pula, perusahaan (industri) seringkali enggan memberikan pelatihan pada pekerja baru tanpa pengalaman kerja. Meski begitu, penelitian Endang Susilowati menunjukkan bahwa nilai positif dari model penendikan link and match, dimana pekerja yang memiliki kesesuaian antara latar belakang pendidikan dengan pekerjaannya, cenderung memiliki prestasi kerja yang lebih bagus dibandingkan dengan yang tidak sesuai.

Kenyataan Lulusan Pendidikan Kejurusan :
Hasil beberapa penelitian di lapangan mengindikasikan, bahwa sebagian besar lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) kurang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan maupun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sulit untuk bisa dilatih kembali, dan kurang bisa mengembangkan diri. Temuan tersebut tampaknya mengindikasi bahwa pembelajaran di SMK belum banyak menyentuh atau mengembangkan kemampuan adaptasi peserta didik. Studi itu juga memperoleh gambaran bahwa sebagian lulusan SMK tidak bisa diserap di lapangan kerja, karena kompetensi yang mereka miliki belum sesuai dengan tuntutan dunia kerja, fenomena yang terjadi pada lulusan pendidikan kejuruan adalah :
1.    Pengetahuan dan ketrampilan dasar pada bidang tertentu masih lemah, sehingga kepercayaan diri dalam memasuki lapangan kerja kurang atau bahkan belum siap sama sekali.
2.    Tidak mempunyai orientasi masa depan atau visi kedepan yang tidak jelas.
3.    Industri tidak percaya pada kemampuan pengetahuan dan ketrampilan lulusan pendidikan kejuruan, yang seharusnya mutu lulusan pendidikan kejuruan juga merupakan tanggung jawab moral industri.

Daftar Bacaan
Cony R. Semiawan, 1991. Pengembangan Kirikulum untuk SMKTA Menyongsong Era Tinggal Land. Makalah pada Seminar Pengembangan Kurikulum SMK. Juni 1991. Jakarta: Balitbang Dikbud.
Elliot, Janet. 1983. The Organization of Productive Work In Secondary Technical and Vocational Education The United Kingdom. London: Unesco.
Endang Soesilowati,     Inne Dwiastutu, , Darwin, Zamroni, Bahtiar Rifai, Link and Match Dunia Pendidikan dan Industri dalam Meningkatkan Daya Saing Tenaga Kerja dan Industri, Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E - LIPI), http://www.ekonomi.lipi.go.id/informasi/penelitian
Evans, R. N. & Edwin, L. H. 1978. Foundation of Vocational Education. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Publishing Company.
Finch, Curtis R. & Crunkilton, John R. 1984. Curriculum Development in Vocational and Technical Education: Planning, Content, and Implementation. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
IEES .1986.. Indonesia Education and Human Resources Sector Review. Chapter VII-Vocational/Technical Education. Jakarta: Depdikbud and USAID
Karabel, R. L. & Hasley, R. A. 1977. Vocational Education Outcomes: Perspective for Evaluation. Columbus: NCRVE.
Miner, Jacob. 1974. Family Investment in Human Capital: Earning of Woman. Journal of Political Economy 82 (2). Pp. 48-56.
Muchlas Samani. 1992. Keefektifan Program Pendidikan STM: Studi Penelitian Pelacakan terhadap Lulusan STM Rumpun Mesin Tenaga dan Teknologi Pengerjaan Logam di Kotamadya Surabaya tahun 1986 dan 1987. Disertasi doktor IKIP Jakarta.
National Council for Research into Vocational Education. 1981. Towards a Theory of Vocational Educational. Columbus, Ohio: NCRVE Publication.
Oemar H. Malik. 1990. Pendidikan Tenaga Kerja Nasional, Kejuruan, Kewiraswastaan, dan Manajemen. Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti.
Slamet. 1990. Pondasi Pendidikan Kejuruan. Lembaran Perkuliahan. Yogyakarta: Pascasarjana IKIP Yogyakarta.
Suprapto Brotosiswoyo,. 1991. Pendidikan Menengah. Makalah Pengantar Diskusi Kelompok Rapat Kerja Nasional. Agustus 1991. Jakarta: Depdikbud
Thorogood, Ray. 1982. Current Themes in Vocational Education and Training Policies, Part I. Industrial and Commercial Training 9, pp. 328-331.
Tilaar, H.A.R. 1991. Sistem Pendidikan Yang Modern Bagi Pembangunan Masyarakat Industri Modern Berdasarkan Pancasila. Makalah pada KIPNAS V September 1991, Jakarta.
Wenrich, Ralph C. & Wenrich, William J. 1974. Leadership in Administration of  Vocational Education. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Publishing Co
Zulbakir & Fazil. 1988. Program Pendidikan Menengah Teknologi dan Perkembangan IPTEK di Indonesia. Makalah disampaikan pada Konvensi Nasional Pendidikan Juli 1988, Bandung